
Tanpa disadari, banyak orangtua menerapkan pola pengasuhan yang terlalu keras dalam upaya mendisiplinkan anak. Gaya ini dikenal sebagai *parenting* VOC, terinspirasi dari pendekatan kolonial Belanda yang otoriter dan kaku. Psikolog Meity Arianty menjelaskan bahwa pola asuh ini cenderung menekan anak secara berlebihan, mengabaikan pendapat mereka, dan menuntut kepatuhan mutlak tanpa kompromi.
Ciri-ciri gaya *parenting* VOC
1. Menuntut kepatuhan mutlak
Dalam *parenting* VOC, anak diharapkan patuh sepenuhnya tanpa boleh bertanya atau bernegosiasi. Aturan dibuat sepihak, dan pendapat anak sering dianggap tidak penting. Meity menyebutkan bahwa pola ini dapat mengurangi kepercayaan diri anak karena mereka merasa tidak didengar.
2. Disiplin ketat dan hukuman
Disiplin diterapkan dengan cara keras, termasuk hukuman fisik atau verbal. Anak tidak diajak memahami kesalahan, melainkan hanya ditakuti dengan konsekuensi. Meity menambahkan bahwa pendekatan ini lebih fokus pada pengendalian ketimbang pembelajaran.
3. Tidak memberi ruang untuk ekspresi diri
Emosi dan perasaan anak sering diabaikan dalam pola asuh ini. Padahal, kemampuan mengekspresikan diri penting untuk perkembangan sosial dan emosional. Anak yang terus dibungkam berisiko tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan sulit berkomunikasi.
4. Kaku dan anti perubahan
*Parenting* VOC sangat kaku dan mempertahankan nilai-nilai lama tanpa mempertimbangkan perkembangan zaman. Meity menyebut gaya ini konservatif dan tidak fleksibel, sehingga anak bisa kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang dinamis.
5. Relasi seperti atasan dan bawahan
Hubungan orangtua-anak dalam pola ini lebih mirip atasan dan bawahan. Anak diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk, bukan sebagai mitra dalam proses tumbuh kembang. Akibatnya, ikatan emosional antara anak dan orangtua bisa melemah.
Mengenali tanda-tanda *parenting* VOC membantu orangtua mengevaluasi cara pengasuhan mereka. Pola asuh yang sehat seharusnya mengutamakan komunikasi, empati, dan kesetaraan, bukan kekuasaan mutlak.