
Terpaan Berita Negatif dan Dampaknya pada Kesehatan Mental
Di era digital, arus informasi mengalir deras tanpa henti. Setiap hari, kita dibombardir oleh berita dari berbagai sumber, baik media konvensional maupun platform digital. Tanpa disadari, paparan berita bernada negatif secara terus-menerus dapat memicu stres, bahkan memengaruhi kondisi psikologis. Fenomena ini dikenal sebagai *”headline stress disorder”*, di mana seseorang mengalami tekanan emosional akibat terlalu sering terpapar konten yang muram atau mengkhawatirkan.
Menurut Dicky Pelupessy Ph.D., psikolog sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, reaksi seperti sedih, cemas, atau marah sebenarnya wajar muncul ketika menghadapi pemberitaan yang intens, terutama terkait isu-isu politik atau peristiwa luar biasa. “Ini respons alami karena kejadian semacam itu tidak terjadi setiap hari, sehingga lebih mudah memicu emosi negatif,” jelasnya dalam wawancara dengan *Kompas.com* (29/8/2025). Namun, emosi tersebut bisa semakin kuat jika seseorang sudah memiliki rasa kecewa sebelumnya.
Media, khususnya media sosial, kerap memanfaatkan judul yang sensasional untuk menarik perhatian. Akibatnya, pembaca mudah terpancing secara emosional. *Headline stress disorder* bukan hanya masalah lokal—fenomena ini terjadi secara global. Laporan *Digital News Report 2024* oleh Reuters Institute mengungkapkan bahwa 40% responden mengaku sengaja menghindari berita. Alasannya beragam: pemberitaan dianggap terlalu muram, kurang tepercaya, atau sekadar membanjiri pikiran (*information overload*).
Strategi Mengurangi Dampak Negatif Berita
Secara alami, otak manusia lebih cepat merespons informasi yang berpotensi mengancam. Dicky menjelaskan, hal ini terkait dengan *selective attention*, di mana kita cenderung fokus pada hal-hal yang memicu emosi atau rasa tidak aman. “Informasi negatif diproses lebih cepat daripada yang positif,” ujarnya.
Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap berita buruk dapat menggerogoti kesehatan mental. Selain memicu kemarahan, kesedihan, dan kecemasan, informasi yang terlalu banyak juga menyebabkan sulit berkonsentrasi dan perasaan putus asa.
Untuk mengatasinya, psikolog menyarankan langkah-langkah praktis:
- Batasi waktu membaca berita – Jika dampaknya sudah parah, tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak.
- Pilih sumber tepercaya – Prioritaskan media yang menyajikan fakta akurat, bukan sekadar sensasi.
- Verifikasi informasi – Jangan langsung percaya, terutama dari media sosial. Diskusikan dengan orang yang dipercaya untuk menghindari kepanikan.
Terakhir, imbangi dengan aktivitas yang menenangkan pikiran agar tidak terjebak dalam lingkaran kecemasan. Dengan cara ini, kita bisa tetap terinformasi tanpa harus terbebani secara emosional.