
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat peningkatan kasus suspek chikungunya yang cukup tajam pada tahun 2025 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lonjakan ini dikaitkan dengan pola musim hujan yang kerap memicu penyebaran penyakit yang ditularkan melalui nyamuk.
Menurut Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, meskipun tren kasus sempat menurun dalam dua bulan terakhir, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat potensi peningkatan penularan di minggu-minggu mendatang. Pernyataan ini disampaikan melalui *Antara* pada Senin (11/8/2025).
Jawa Barat Paling Terdampak
Berdasarkan data Kemenkes, lima provinsi dengan kasus suspek chikungunya tertinggi hingga tahun ini didominasi oleh wilayah Jawa. Jawa Barat menempati posisi pertama dengan 6.674 kasus, diikuti oleh Jawa Tengah (3.388), Jawa Timur (2.903), Sumatera Utara (1.074), dan Banten (838).
Penyakit ini disebabkan oleh virus yang dibawa oleh nyamuk *Aedes aegypti* dan *Aedes albopictus*, yang juga dikenal sebagai vektor demam berdarah.
Dampak dan Gejala yang Muncul
Infeksi chikungunya umumnya ditandai dengan demam, kelelahan, serta nyeri sendi dan tulang yang bisa bertahan lama—bahkan hingga hitungan bulan atau tahun. Namun, beberapa kasus juga bisa terjadi tanpa gejala yang jelas.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan tetapi juga ekonomi, terutama jika penderitanya mengalami penurunan produktivitas dalam jangka panjang.
Belum Ada Pengobatan Spesifik
Aji menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada obat antivirus khusus untuk chikungunya. Penanganan lebih difokuskan pada pengurangan gejala, seperti istirahat yang cukup, menjaga asupan cairan, serta mengonsumsi pereda nyeri untuk meredakan ketidaknyamanan pada sendi.
Upaya Pencegahan yang Dilakukan
Untuk mengantisipasi lonjakan kasus, Kemenkes memperkuat surveilans vektor dan pengendalian faktor risiko lingkungan guna mencegah potensi Kejadian Luar Biasa (KLB).
Masyarakat diimbau untuk menerapkan gerakan 3M Plus, yaitu menguras, menutup, dan mendaur ulang tempat atau barang yang bisa menjadi sarang nyamuk.
“Respons cepat dan penilaian risiko dini terhadap sinyal potensial KLB atau wabah sangat penting,” ujar Aji.
Kemenkes mengingatkan bahwa meski tren sempat melandai, risiko kenaikan kasus tetap ada selama musim hujan berlangsung.