
Obesitas Sentral pada Perempuan Indonesia: Data Terbaru Kemenkes
Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), banyak perempuan di Indonesia mengalami kondisi obesitas sentral. Fakta ini terungkap dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang telah menjangkau sekitar 8,2 juta peserta dalam rentang waktu empat bulan hingga Februari 2025, sebagaimana dilaporkan Antara pada Jumat (13/6/2025).
Per 12 Juni 2025, catatan Kemenkes menunjukkan bahwa dari total peserta, 50 perempuan dan 25 laki-laki teridentifikasi mengalami obesitas sentral. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kondisi ini?
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, obesitas sentral terjadi ketika lingkar pinggang melebihi 90 cm untuk laki-laki dan 80 cm untuk perempuan. Kondisi ini sering dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kronis, seperti gangguan jantung dan stroke. Simak penjelasan lebih rinci berikut ini.
Apa itu obesitas sentral?
Obesitas sentral merujuk pada penumpukan lemak berlebih di area perut, yaitu bagian tubuh antara dada dan panggul. Kondisi ini juga dikenal sebagai obesitas abdominal.
Pada penderita obesitas sentral HALIMTOTO , terdapat akumulasi lemak visceral—lemak yang menumpuk di sekitar organ dalam perut. Berdasarkan penjelasan Kemenkes, seseorang dianggap mengalami obesitas sentral jika lingkar perutnya melebihi 90 cm (pria) atau 80 cm (wanita). Pengukuran ini berlaku untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas.
Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkapkan bahwa prevalensi obesitas sentral pada penduduk di atas 15 tahun mencapai 36,8 persen secara nasional. Provinsi dengan angka tertinggi adalah DKI Jakarta dan Sulawesi Utara (masing-masing 45,7 persen), disusul Papua Tengah (44,3 persen).
Apa saja risiko penyakit akibat obesitas sentral?
Menurut WebMD, lemak berlebih di area perut tidak hanya menumpuk di bawah kulit, tetapi juga menyelubungi organ-organ dalam seperti lambung dan usus.
Samuel Dagogo-Jack, MD, Presiden American Diabetes Association, menjelaskan bahwa lemak visceral melepaskan racun yang mengganggu fungsi tubuh, termasuk zat kimia bernama sitokin. Senyawa ini dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, mengurangi sensitivitas insulin (pemicu diabetes), dan memicu peradangan yang berpotensi menyebabkan kanker.
Eric Jacobs, PhD, peneliti dari American Cancer Society, menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, studi menemukan kaitan antara lemak perut dan kanker usus besar, esofagus, serta pankreas.
Untuk mengurangi risiko ini, langkah utama yang disarankan adalah menurunkan berat badan. Dagogo-Jack menekankan bahwa bahkan penurunan berat badan dalam jumlah kecil sekalipun dapat membantu mencegah komplikasi kesehatan yang lebih serius.