
Jakarta – *Sneakers* telah menjadi tren yang digemari oleh berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga dewasa muda. Sepatu ini tidak hanya berfungsi sebagai alas kaki, tetapi juga menjadi simbol identitas, status sosial, dan ekspresi gaya hidup. Namun, di balik popularitasnya, beredar pula *sneakers* palsu atau KW yang dijual secara terbuka, bahkan di pusat perbelanjaan yang mengklaim diri sebagai mal “bersertifikat HKI (Hak Kekayaan Intelektual).”
Mengapa *Sneakers* Palsu Tetap Laris?
Harga yang Lebih Terjangkau
Menurut Pengamat Sosial, Dr. Devie Rahmawati, M.Hum., CICS, harga menjadi alasan utama mengapa banyak orang memilih *sneakers* palsu. “Banyak konsumen tergiur karena bisa mendapatkan tampilan yang mirip dengan harga jauh lebih murah. Mereka merasa fungsi dan estetikanya cukup memadai tanpa perlu mengeluarkan uang besar,” jelas Devie saat berbincang dengan *Kompas.com*, Jumat (29/8/2025). *Sneakers* asli bisa dihargai hingga jutaan bahkan puluhan juta rupiah, sementara versi KW menawarkan kemiripan dengan harga yang jauh lebih ringan di kantong.
Gaya Hidup dan Citra Diri
Selain faktor ekonomi, *sneakers* juga menjadi bagian dari pencitraan diri. Bagi banyak orang, terutama anak muda, sepatu ini bukan sekadar kebutuhan praktis, melainkan cara untuk mengekspresikan gaya dan kedekatan dengan tren terkini. “Produk KW dianggap bisa memberikan kesan merek mewah meski bukan asli. Konsumen merasa citra tersebut tetap melekat meski yang dipakai adalah tiruan,” tambah Devie. Dorongan untuk tampil modis sering kali mengaburkan batas antara produk legal dan ilegal.
Dampak Lingkungan dan Media Sosial
Lingkungan pergaulan dan informasi di dunia digital turut memengaruhi keputusan pembelian. Rekomendasi dari teman, ulasan produk di internet, atau tren di media sosial membuat konsumen lebih berani memilih *sneakers* KW. “Teknologi produksi sekarang semakin canggih, sehingga sulit membedakan produk palsu dengan yang asli. Ketika perbedaannya hampir tak terlihat, persepsi nilai dari barang KW pun semakin kuat,” ujar Devie.

Pilihan Konsumen: Asli atau KW?
Pengalaman konsumen dalam memilih *sneakers* pun beragam. Fafa (26), seorang pekerja kreatif, lebih memilih produk asli karena nilai dan ketahanannya. “Saya pernah mencoba KW, tapi cepat rusak. Meski lebih mahal, *sneakers* ori lebih awet dan bikin percaya diri,” katanya. Sementara itu, Alvi (20) memilih KW karena keterbatasan budget. “Selama nyaman dipakai dan modelnya bagus, menurut saya tidak masalah. Kebanyakan orang juga tidak terlalu memperhatikan keasliannya,” ujarnya. Manda (23) mengaku awalnya tidak paham perbedaan ori dan KW, tetapi akhirnya memilih KW karena alasan harga. “Saya tidak menyesal karena nabung untuk beli ori butuh waktu lama,” tuturnya.
Keterjangkauan vs. Tanggung Jawab Konsumen
Devie menegaskan bahwa motivasi utama membeli *sneakers* KW bukanlah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme, melainkan keterbatasan finansial. “Alasan utamanya adalah *affordability*. Narasi anti-kapitalisme sering dipakai sebagai pembenaran, tetapi intinya tetap soal kemampuan membeli,” jelasnya. *Sneakers* palsu tetap laku karena memenuhi dua kebutuhan: harga terjangkau dan keinginan tampil sesuai tren.
Meski demikian, Devie mengimbau masyarakat untuk mempertimbangkan alternatif lain yang lebih etis. “Jika belum mampu membeli *sneakers* asli, ada opsi seperti membeli produk lokal, *preloved*, atau *thrifting*. Selain lebih bertanggung jawab, langkah ini juga mendukung ekonomi dalam negeri,” pungkasnya.