
ARTJOG 2025 resmi ditutup dengan nuansa yang berbeda, menggabungkan seni, refleksi, dan kritik sosial dalam satu momen penuh makna. Festival seni tahunan yang digelar di Jogja National Museum (JNM) ini berakhir pada Minggu (31/8/2025) dengan rangkaian doa, musik, dan pernyataan sikap mengenai kondisi bangsa yang dinilai penuh gejolak. Heri Pemad, Direktur ARTJOG, menekankan bahwa penutupan kali ini bukan sekadar akhir acara, melainkan ruang dialog kritis yang diwujudkan melalui medium seni.
Seni Sebagai Cermin Kegelisahan Masyarakat
Mengangkat tema “Amalan”, ARTJOG 2025 mengajak pengunjung untuk merenungkan relasi manusia dengan lingkungan sekitarnya. Heri Pemad menyatakan bahwa seni tidak pernah terpisah dari realitas sosial—ia selalu menjadi bagian dari kegundahan dan harapan masyarakat. Kurator Hendro Wiyanto menambahkan bahwa trilogi “Motif”, yang dirancang sejak 2023, bukan hanya kerangka artistik, tetapi juga alat untuk memahami dinamika politik dan sosial.
*”Seniman adalah kurir pesan kebaikan. Melalui karya mereka, kita bisa mengenali pemimpin yang benar-benar berdedikasi untuk kesejahteraan bersama, bukan yang memamerkan kekuasaan semata,”* tegas Hendro dalam acara penutupan.
Doa dan Kritik Sosial yang Menyentuh
Penutupan festival juga diisi dengan pembacaan doa oleh seniman Faisal Kamandobat. Dalam puisinya, ia menyoroti ironi kehidupan: kekayaan alam yang tidak menjamin kesejahteraan, ilmu pengetahuan yang kadang menjauhkan dari kebenaran, hingga rumah ibadah yang tak selalu mendekatkan manusia pada spiritualitas. *”Negara membuat banyak aturan, tapi keadilan justru semakin jauh,”* ujarnya.
Musik yang Menyalakan Harapan
Suasana semakin berenergi ketika Sirin Farid Stevy dan grup Prontaxan tampil dengan alunan musik funkot yang menggebu. Lirik-lirik penuh semangat mereka menjadi pengingat untuk tetap bersatu dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat.
ARTJOG akan kembali hadir pada 19 Juni 2026, membawa tema, kurator, dan pengalaman baru bagi pecinta seni.