
Menunjukkan kebanggaan diri lewat *flexing* bisa terlihat normal, tapi hati-hati jika sudah kelewatan. Psikolog Klinis Maria Fionna Callista mengungkapkan, selama masih terkendali, *flexing* adalah hal yang manusiawi. Namun, ketika berubah jadi kebutuhan konstan untuk validasi, inilah saatnya waspada.
“Jika dilakukan berlebihan sampai sulit dikendalikan, itu tanda bahaya. Apalagi jika muncul rasa gelisah dan ketergantungan pada pujian orang lain,” jelas Fionna dalam wawancara dengan Kompas.com (3/9/2025). Tanpa respons yang diharapkan, seseorang bisa merasa tidak berharga.
Kapan *Flexing* Mulai Berbahaya?
Awalnya, *flexing* mungkin sekadar berbagi pencapaian. Tapi saat berubah jadi kebiasaan tak terkontrol, ini bisa jadi alarm. Fionna menyebut ciri utamanya adalah kegelisahan dan dorongan kuat untuk selalu diakui.
“Ketika tidak mendapat validasi, muncul rasa tidak aman, rendah diri, dan kecemasan. Itu gejala awal gangguan perilaku,” tegasnya. Tekanan ini bisa mengikis kepercayaan diri, membuat seseorang merasa tak bernilai tanpa pengakuan orang lain.
Dari Kebiasaan ke Kecanduan
*Flexing* berlebihan bisa berkembang jadi kecanduan. Pelaku mungkin terus memposting konten demi perhatian, bahkan menunjukkan sikap narsistik. “Misalnya, selalu butuh pujian sampai merendahkan orang lain,” ujar Fionna. Dampaknya tidak hanya personal, tapi juga merusak hubungan sosial.
Efek pada Lingkungan Sekitar
Tak hanya pelaku, orang lain pun bisa terkena imbasnya. Lingkungan sosial menjadi tidak nyaman ketika *flexing* diiringi sikap sulit menerima kritik. “Perlu dievaluasi seberapa jauh perilaku ini menyimpang dan mengganggu,” kata Fionna. Jika orang sekitar mulai risih, artinya *flexing* sudah melewati batas.
Meski berpotensi memicu gangguan psikologis, Fionna mengingatkan untuk tidak melakukan *self-diagnose*. “Jangan asal menebak. Konsultasikan ke profesional,” pesannya.
Kunci Utama: Kesadaran Diri
Menurut Fionna, kunci pencegahannya adalah refleksi. “Tanyakan pada diri: Apakah ini sudah mengganggu? Apakah orang lain merasa tidak nyaman?” Dengan mengenali batas, seseorang bisa menilai apakah *flexing*-nya masih sehat atau justru merugikan.
*Flexing* di media sosial tidak selalu negatif. Namun, jika jadi satu-satunya sumber harga diri, ini bisa berujung pada masalah psikis yang serius.