
Memutus Kontak dengan Mantan: Rahasia Menyembuhkan Hati dan Menyehatkan Otak
Tak sedikit orang yang memilih *lost contact* atau menghentikan segala komunikasi dengan mantan pasangan setelah hubungan berakhir. Langkah ini sering diambil sebagai cara untuk memulihkan luka hati, melanjutkan hidup, dan membuka peluang menemukan cinta baru. Namun, tahukah kamu bahwa *lost contact* ternyata juga membawa manfaat besar bagi kesehatan otak?
### Mengapa *Lost Contact* Baik untuk Otak?
*Lost contact* berarti benar-benar mengakhiri interaksi dengan mantan, mulai dari tidak saling telepon, mengirim pesan, *chatting*, hingga menghindari pertemuan dan interaksi di media sosial. Menurut Manj Bahra, seorang *heartbreak and relationship coach* asal Inggris, tetap berkomunikasi dengan mantan justru menghambat proses “menutup lembaran lama”. Hal ini berkaitan dengan cara kerja otak yang cenderung fokus pada hal-hal yang belum tuntas.
Fenomena ini dikenal sebagai efek Zeigarnik, di mana otak lebih mudah mengingat tugas atau situasi yang belum selesai dibandingkan yang sudah berakhir. Dalam konteks hubungan, ‘tugas’ yang belum tuntas ini membuat seseorang terus terpaku pada mantan, sulit melupakan, dan bahkan berharap hubungan bisa kembali seperti semula.
### Sinyal Membingungkan yang Memperpanjang Penderitaan
Bahra menjelaskan bahwa tetap berhubungan dengan mantan bisa menciptakan persepsi yang keliru. “Kita cenderung membaca hal-hal yang sebenarnya tidak ada, menciptakan harapan palsu, dan melihat apa yang ingin kita lihat,” ujarnya. Kondisi ini menjadi penghalang alami untuk benar-benar move on.
Dengan tetap berkomunikasi, seseorang terus terpapar pada harapan akan rekonsiliasi, meskipun kenyataannya hubungan sudah berakhir. Akibatnya, proses penyembuhan menjadi lebih lama dan emosi terus terjebak dalam lingkaran tidak sehat.
### Mengatur Ulang Dopamin dengan *Lost Contact*
Salah satu manfaat besar *lost contact* adalah kemampuannya membantu otak mengatur ulang kadar dopamin—hormon yang berkaitan dengan rasa senang dan motivasi. Robert Sapolsky, profesor biologi di Stanford University, menemukan bahwa dopamin meningkat saat seseorang mengantisipasi suatu imbalan, dan mencapai puncaknya ketika ada ketidakpastian.
Dalam hubungan, perasaan “dikejar” atau mengejar seseorang bisa memicu pelepasan dopamin, terutama jika hasilnya tidak pasti. Jika mantan memberikan sinyal ambigu, otak akan terus memproduksi dopamin secara adiktif, meskipun hubungan tersebut tidak akan berlanjut.
Dengan memutus kontak, kamu menghilangkan sumber ketidakpastian tersebut. Tanpa adanya interaksi, otak perlahan berhenti mengaitkan mantan dengan rasa senang, sehingga lebih mudah untuk move on.
### Analoginya Seperti Diet dan Donat
Bahra memberikan perumpamaan sederhana: “Bayangkan kamu sedang diet. Apakah akan lebih mudah menahan godaan jika ada donat di rumah?” Dengan cara yang sama, tetap berhubungan dengan mantan ibarat menyimpan ‘donat’ yang terus menggoda, sementara *lost contact* membantu menghilangkan godaan tersebut sepenuhnya.
Dengan memutus kontak, kamu memberi ruang bagi otak dan hati untuk benar-benar pulih, membuka jalan menuju kebahagiaan yang lebih tulus di masa depan.