
Perlindungan untuk Whistleblower dan Petugas Polri Jadi Sorotan dalam Revisi UU LPSK
Kombes Burkan Rudy Satria, Wakil Direktur Tindak Pidana Umum (Wadirtipidum) Bareskrim Polri, menyoroti kerentanan keselamatan yang dihadapi polisi dan informan saat menangani kasus perdagangan manusia hingga narkotika. Dalam rapat pembahasan RUU Perubahan Kedua UU No. 13 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di DPR, Rabu (17/9/2025), ia mendesak agar whistleblower, justice collaborator, serta petugas Polri juga masuk dalam cakupan perlindungan LPSK.
Perluasan Subyek Perlindungan LPSK
Burkan menegaskan, ancaman terhadap nyawa sering kali mengintai para informan dan petugas yang terlibat dalam kasus-kasus berat seperti penyelundupan manusia, perdagangan orang, dan narkoba. “Ini harus menjadi perhatian bersama,” tegasnya. Ia juga mempertanyakan mekanisme perlindungan jika yang terancam justru anggota Polri sendiri.
Dukungan Teknis dan Operasional dari Polri
Dalam hal pengamanan saksi, Polri siap memberikan bantuan berupa pengawalan langsung, penyediaan safe house, pengamanan persidangan, hingga penindakan hukum. Selain itu, Burkan menekankan pentingnya integrasi sistem pemantauan digital antara Polri dan LPSK untuk mengantisipasi ancaman terhadap saksi. “Dengan teknologi seperti kamera dan smartphone yang semakin canggih, kolaborasi sistem monitoring menjadi krusial,” ujarnya.
Prosedur Pengajuan Perlindungan di Daerah Terpencil
Burkan juga mengingatkan kendala yang dihadapi di daerah yang belum memiliki kantor LPSK. Ia menceritakan pengalamannya saat bertugas di Maluku Tenggara, di mana akses untuk melapor terkait ancaman terhadap saksi sangat terbatas. “Saat itu, kami bingung harus melapor ke mana. Akhirnya hanya bisa menghubungi polisi setempat, padahal seharusnya LPSK yang menangani,” ungkapnya.
Dengan demikian, revisi UU ini diharapkan dapat memperluas jangkauan perlindungan, termasuk bagi pihak-pihak yang selama ini rentan namun belum tercakup dalam sistem keamanan hukum.