
Anak Pendek Belum Tentu Stunting, Ini Bedanya Menurut Dokter
Banyak orang tua khawatir ketika melihat anaknya lebih pendek dibanding teman sebayanya, langsung mengira itu tanda stunting. Padahal, tinggi badan yang kurang belum tentu berarti anak mengalami stunting. Dokter menjelaskan bahwa faktor genetik bisa jadi penyebabnya, sementara stunting sendiri adalah masalah gizi serius dengan dampak jangka panjang.
Perbedaan Anak Pendek dan Stunting
Menurut dr. Aisya Fikritama, SpA, dokter anak dari RS UNS Solo, anak yang bertubuh pendek bisa saja disebabkan oleh faktor keturunan. “Jika orang tuanya juga bertubuh kecil, wajar bila anak memiliki postur serupa. Ini berbeda dengan stunting,” jelasnya.
Stunting, lanjutnya, terjadi akibat kekurangan gizi kronis, seringkali dipicu oleh infeksi berulang atau asupan nutrisi yang tidak memadai. Kondisi ini terutama berkembang dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun.
“Stunting bukan sekadar masalah tinggi badan. Ini berdampak pada perkembangan otak, sistem imun, dan meningkatkan risiko penyakit di masa depan,” tegas dr. Aisya.
Dampak Jangka Panjang Stunting
Anak yang mengalami stunting berisiko menghadapi berbagai masalah, seperti:
- Kemampuan kognitif yang lebih rendah
- Sulit berkonsentrasi saat belajar
- Lebih rentan terhadap infeksi
- Hambatan produktivitas saat dewasa
Dalam skala luas, stunting dapat memicu munculnya *lost generation*—generasi yang kehilangan potensi optimalnya.
Langkah Pencegahan Stunting
Pencegahan stunting harus dimulai sejak masa kehamilan. Ibu hamil perlu memenuhi kebutuhan gizi, termasuk zat besi dan protein, serta rutin memeriksakan kehamilan. Setelah bayi lahir, langkah penting meliputi:
- Pemberian ASI eksklusif hingga usia enam bulan
- MPASI bergizi seimbang dengan kandungan protein hewani (telur, ikan, ayam, daging) dan zat besi
- Imunisasi lengkap
- Sanitasi dan kebersihan lingkungan yang baik
Pemantauan rutin di posyandu atau dokter anak juga krusial. Jika grafik pertumbuhan anak menunjukkan penurunan, orang tua harus segera mengevaluasi pola makan dan asupan gizi. “Intervensi dini bisa mengembalikan anak ke jalur pertumbuhan normal,” ujar dr. Aisya.
Peran Pemerintah dan Swasta dalam Penanganan Stunting
Indonesia telah mencatat penurunan prevalensi stunting dari 21,5% (2023) menjadi 19,8% (2024) menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI). Namun, angka ini masih mencakup lebih dari satu juta anak.
Selain program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), sektor swasta turut berkontribusi melalui program CSR. Contohnya, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) memberikan edukasi kesehatan ibu hamil, menyediakan ambulans desa, dan memperbaiki sanitasi lingkungan.