
Sikap Julid pada Pernikahan: Mekanisme Pertahanan Diri yang Tak Disadari
Tidak jarang, orang yang takut menikah menunjukkan perilaku negatif dengan mencemooh atau berlaku julid terhadap mereka yang memutuskan untuk berumah tangga. Julid sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sikap iri dan dengki terhadap keberhasilan orang lain, sering kali diungkapkan melalui komentar atau unggahan di media sosial yang bernada negatif.
Mengapa Orang yang Takut Menikah Sering Julid?
Julid sebagai Bentuk Pertahanan Diri
Menurut Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., psikolog klinis dari RS DR Oen Solo Baru, julid bisa menjadi mekanisme pertahanan diri bagi mereka yang sebenarnya memiliki ketakutan terhadap pernikahan. Mereka mungkin memandang pernikahan sebagai sesuatu yang salah atau tidak menguntungkan, meskipun sebenarnya itu adalah cara mereka melindungi diri dari kecemasan.
“Mereka cenderung menyalahkan konsep pernikahan. Ini adalah bentuk pertahanan diri, seperti *projection* dalam psikologi,” jelas Joko.
Beberapa contoh komentar julid yang sering dilontarkan antara lain:
– *“Yah, kamu sih sudah nikah. Jadi susah kan diajak main.”*
– *“Nikah kan bahagianya cuma tahun-tahun awal saja, hati-hati nanti bosan.”*
Perilaku ini sebenarnya adalah strategi bawah sadar untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan melindungi diri dari pikiran atau emosi yang mengganggu.
“Mengolok-olok orang yang menikah sebenarnya adalah cara untuk menutupi kecemasan dan kerapuhan mereka sendiri,” tambah Joko.
Di balik sikap ini, sering kali ada keinginan tersembunyi untuk menikah yang belum terpenuhi, entah karena belum menemukan pasangan yang tepat atau adanya hambatan lain.
Rasionalisasi Diri Melalui Perilaku Julid
Lebih jauh, Joko menjelaskan bahwa julid juga bisa menjadi bentuk rasionalisasi. Mereka yang takut menikah sering kali mencoba meyakinkan diri sendiri dengan memproyeksikan kekhawatiran mereka kepada orang lain.
“Contohnya, mereka bilang, *‘Menjadi single itu kan lebih bebas!’* Seolah-olah ingin membuktikan bahwa hidup melajang lebih baik,” ujar Joko.
Padahal, kebahagiaan tidak selalu ditentukan oleh status pernikahan. Baik menikah maupun tidak, seseorang bisa meraih kebahagiaan asalkan keputusan tersebut diambil secara sadar dan tanpa paksaan.
“Kualitas hidup, hubungan sosial, dan cara seseorang memaknai hidupnya jauh lebih penting dalam menentukan kebahagiaan,” tegas Joko.