
Kembalinya Ribuan Benda Bersejarah dari Belanda: Anugerah atau Beban?
Rencana repatriasi ribuan artefak bersejarah dari Belanda ke Indonesia bisa dilihat sebagai kemenangan diplomasi budaya. Setelah sekian lama dirampas oleh penjajah, akhirnya hak sejarah dikembalikan kepada pemilik sahnya. Namun, di balik momen simbolis ini, tersimpan tantangan besar—mulai dari aspek ekonomi, teknis, hingga kultural—yang mungkin lebih berat daripada nilai sentimentalnya.
Sebagai seorang yang pernah menyaksikan langsung koleksi tersebut di Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Volkenkunde, saya menyadari kompleksitas perawatan benda-benda ini. Percakapan dengan para pengelolanya mengungkap betapa rumit dan mahalnya proses konservasi. Indonesia harus mempertimbangkan kesiapannya dalam memikul tanggung jawab ini, terutama mengingat standar konservasi internasional yang tinggi.
Kesiapan Infrastruktur dan Sumber Daya
Sebagai kurator, saya tahu bahwa banyak museum di Indonesia masih berjuang dengan masalah mendasar:
- Ruang penyimpanan yang tidak memenuhi standar
- Sistem pengaturan suhu dan kelembaban yang tidak stabil
- Ketersediaan bahan kimia pengawet yang langka dan mahal
- Jumlah tenaga ahli konservasi yang sangat terbatas
Dalam kondisi seperti ini, ribuan benda rentan—seperti manuskrip kuno, lukisan, senjata, dan artefak kayu atau logam berusia ratusan tahun—berisiko rusak lebih cepat dari yang diperkirakan.
Biaya Perawatan yang Fantastis
Dari pembicaraan dengan pengelola koleksi di Belanda, terungkap bahwa biaya perawatan satu manuskrip saja bisa mencapai miliaran rupiah per bulan. Cairan pengawet khusus untuk mencegah pelapukan dan jamur pada kertas harganya sangat tinggi, belum lagi kebutuhan ruang penyimpanan dengan kontrol kelembaban dan suhu berbasis teknologi digital.
Benda-benda ini tidak memiliki nilai ekonomi langsung—mereka bukan aset komersial, melainkan simbol sejarah yang membutuhkan tanggung jawab moral dan biaya besar. Meski tak ternilai harganya dalam konteks budaya, dalam neraca keuangan negara, mereka bisa menjadi pos pengeluaran baru tanpa sumber pendapatan yang jelas.
Strategi Belanda atau Beban untuk Indonesia?
Bagi Belanda, pengembalian artefak ini mungkin bukan sekadar gestur baik hati, melainkan strategi untuk melepas beban. Biaya perawatan benda-bersejarah—terutama yang terbuat dari bahan organik seperti kayu, kulit, atau kertas—terus meningkat setiap tahun.
Menurut informasi dari Perpustakaan Universitas Leiden, pemerintah Belanda mengalokasikan sekitar 400 juta euro (Rp 6,8 triliun) per tahun hanya untuk merawat koleksi bersejarah. Daripada terus mengeluarkan dana besar untuk artefak yang tidak memiliki ikatan emosional dengan masyarakatnya, mereka memilih mengembalikannya ke Indonesia—sambil tetap terlihat mulia di mata dunia.
Solusi Jangka Panjang: Heritage Sovereign Fund
Jika Indonesia serius menerima benda-benda ini, diperlukan persiapan sistematis dalam hal konservasi dan manajemen koleksi. Beberapa langkah krusial meliputi:
- Pembangunan laboratorium konservasi modern
- Pelatihan ahli perawatan berstandar internasional
- Alokasi anggaran khusus untuk pemeliharaan jangka panjang
Tanpa ini semua, artefak berharga itu bisa perlahan rusak di tangan kita sendiri—bukan karena dijarah penjajah, melainkan karena ketidakmampuan merawat.
Salah satu solusi inovatif adalah membentuk heritage sovereign fund, sebuah lembaga pengelola dana abadi untuk benda bersejarah. Dana ini bisa diisi dari hasil promosi, lisensi, atau pemanfaatan kreatif koleksi budaya, seperti:
- Royalti dari pameran internasional
- Kerja sama dengan industri kreatif (film, dokumenter, merchandise)
- Pengembangan wisata budaya berbasis artefak
Dengan model ini, benda-benda bersejarah tidak lagi menjadi beban anggaran, melainkan aset produktif yang menghasilkan pendapatan—tanpa mengorbankan nilai historisnya. Hasil pengelolaan dana bisa dialokasikan kembali untuk perawatan, riset arkeologi, dan pendidikan kebudayaan.
Masa Lalu yang Menghidupi Masa Depan
Warisan leluhur seharusnya tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga modal budaya yang mendatangkan kesejahteraan. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia bisa mengubah “beban sejarah” menjadi sumber kekuatan baru—baik secara budaya maupun ekonomi.
Baca juga: [https://www.dapetblog.com/category/tech-news/](https://www.dapetblog.com/category/tech-news/)