
Indonesia Diprediksi Masih Krisis Dokter Spesialis di HUT ke-100
Menyambut perayaan 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045, tantangan besar masih menghadang di sektor kesehatan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, negeri ini diproyeksikan masih mengalami defisit dokter spesialis dalam dua dekade mendatang. Pernyataan ini disampaikan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Kesenjangan Jumlah dan Distribusi
Data terbaru menunjukkan, Indonesia saat ini hanya menghasilkan sekitar 3.000 dokter spesialis per tahun—angka yang jauh di bawah kebutuhan nasional. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan akan ada kekurangan hampir 70.000 dokter spesialis hingga 2032. Butuh lebih dari 20 tahun untuk menutup celah tersebut.
Masalah lain yang tak kalah pelik adalah ketimpangan distribusi. Sebagian besar dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara wilayah seperti Maluku dan Maluku Utara kesulitan mengakses layanan kesehatan spesialis. Misalnya, dari 275 dokter spesialis bedah toraks, kardiak, dan vaskular (BTKV) yang ada, 142 di antaranya berpraktik di Jawa. Akibatnya, sekitar 96 juta penduduk di 25 provinsi tidak memiliki akses ke layanan bedah jantung.
Upaya Percepatan dan Polemik Kebijakan
Untuk mengatasi krisis ini, Kementerian Kesehatan meluncurkan program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit. Kebijakan ini bertujuan mempercepat produksi tenaga spesialis, meratakan distribusi, serta menghapus biaya pendidikan. Namun, program ini menuai kontroversi.
Dua mahasiswa kedokteran dan dua dosen ahli bedah serta anestesi mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai adanya diskriminasi antara program berbasis rumah sakit dan universitas, terutama dalam hal pembiayaan. Pemohon meminta MK membatasi peran rumah sakit hanya sebagai mitra klinis, bukan penyelenggara utama pendidikan.
Dengan kompleksnya tantangan ini, upaya pemerataan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan spesialis masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia.