
Bendera Jolly Roger dari One Piece Viral, Sosiolog: Ini Ekspresi Kekecewaan, Bukan Makar
Maraknya pengibaran bendera Jolly Roger—simbol bajak laut dari anime *One Piece*—di media sosial menjelang HUT ke-80 RI menjadi sorotan publik, termasuk kalangan politisi. Namun, fenomena ini dinilai sebagai bentuk ekspresi sosial, bukan ancaman terhadap negara.
Sosiolog Universitas Indonesia, Rissalwan Lubis, menyebut hal ini sebagai cerminan keresahan kolektif masyarakat. Menurutnya, simbol-simbol tersebut muncul sebagai respons terhadap kondisi yang dirasakan tidak adil, bukan upaya mengganggu stabilitas.
*”Pemerintah seharusnya introspeksi, melihat bahwa ada yang tidak beres,”* ujar Rissalwan, Sabtu (2/8/2025). Ia menambahkan, media sosial menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan kritik yang selama ini sulit tersampaikan.
*”Omong kosong kalau selama ini dibilang, sampaikan saja kalau ada keberatan. Lewat mana? Melalui apa? Ya ini (viral) salah satu caranya,”* tegasnya.
Bukan Makar, Tapi Konformitas Sosial
Rissalwan menjelaskan, fenomena ini lebih tepat disebut sebagai *conformity*—kecenderungan orang untuk mengikuti tren—bukan makar. *”Kalau makar kan harus terorganisir, ada yang memimpin. Ini cuma orang ikut meramaikan fenomena,”* jelasnya.
Ia menilai, aksi pengibaran bendera tersebut mencerminkan kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah, seperti tingginya beban pajak. *”Kalau dulu kita dijajah bangsa asing, sekarang ada yang merasa dijajah oleh bangsanya sendiri,”* ujarnya.
Menurutnya, alih-alih mencurigai niat makar, pemerintah sebaiknya fokus pada masalah mendesak seperti korupsi dan lapangan kerja. *”Jangan beri respons berlebihan, urusi hal yang lebih serius,”* tandas Rissalwan.
Pro-Kontra di Kalangan Politisi
Bendera Jolly Roger milik Monkey D. Luffy—karakter utama *One Piece*—ramai dikibarkan di belakang truk dan kendaraan besar. Sebagian menilai ini sebagai bentuk protes, sementara lainnya melihatnya sebagai ekspresi kreatif.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, bahkan menyebutnya tindakan makar. *”Ini harus ditindak tegas,”* ujarnya di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025). Namun, pandangan ini bertolak belakang dengan analisis sosiolog yang melihatnya sebagai fenomena sosial biasa.