Pemerintah menargetkan penggunaan bahan bakar campuran etanol 10% (E10) pada 2028 atau lebih cepat sebagai langkah strategis mempercepat transisi energi terbarukan di sektor transportasi. Kebijakan ini diharapkan mampu menekan ketergantungan impor bensin yang masih menjadi beban bagi neraca perdagangan Indonesia.
Kendala Utama dalam Implementasi E10
Persaingan Bahan Baku
Produksi bioetanol nasional saat ini mengandalkan molase, limbah pengolahan tebu yang juga dibutuhkan sektor pangan dan industri lain. Keterbatasan pasokan bahan baku ini berpotensi menghambat produksi skala besar yang dibutuhkan untuk program E10.
Aspek Ekonomi yang Belum Menarik
Minimnya insentif fiskal dan fluktuasi harga bahan bakar nabati membuat investasi di sektor bioetanol kurang diminati pelaku usaha. Dibutuhkan kebijakan stabilisasi harga dan kemudahan fiskal untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.
Infrastruktur yang Belum Siap
Jaringan distribusi E10 menghadapi kendala serius karena keterbatasan fasilitas penyimpanan di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) dan sarana transportasi khusus. Kondisi ini berpotensi memperlambat distribusi merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Tantangan Teknologi dan Keberlanjutan
Pengembangan proses produksi bioetanol yang efisien dan ramah lingkungan memerlukan investasi besar dalam riset dan teknologi. Pemerintah juga perlu memastikan produksi tidak memicu dampak ekologis seperti alih fungsi lahan pertanian atau kerusakan hutan.
Keberhasilan program E10 bergantung pada sinergi multipihak, mulai dari penyediaan bahan baku, penguatan infrastruktur, hingga penciptaan iklim investasi yang mendukung. Kolaborasi erat antara pemerintah, industri, dan peneliti menjadi kunci mewujudkan target energi terbarukan ini.





