Kasus perdagangan bayi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan sebuah tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarganya. Dr. Yulina Eva Riany, pakar dari IPB University, memaparkan bahwa anak-anak yang menjadi korban perdagangan seringkali menghadapi masalah serius seperti kebingungan identitas, gangguan emosional, dan kesulitan dalam menemukan jati diri, terutama saat memasuki masa remaja. Selain itu, pemutusan hubungan dini dengan orang tua kandung dapat melemahkan ikatan emosional dan membuat mereka lebih rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi.
Dampak Psikologis pada Orang Tua Korban
Tak hanya anak-anak, orang tua yang kehilangan anak akibat perdagangan bayi juga mengalami penderitaan psikologis yang berat. Ibu korban, khususnya, berisiko tinggi mengalami trauma mendalam, stres berkepanjangan, bahkan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Kondisi ini semakin memperparah beban emosional yang sudah mereka tanggung sejak kehilangan anak.
Langkah Penanganan dan Pencegahan
Untuk memutus mata rantai perdagangan bayi, diperlukan kerja sama menyeluruh dari berbagai pihak, termasuk:
- Aparat penegak hukum untuk menindak pelaku secara tegas.
- Lembaga perlindungan anak yang memberikan pendampingan psikologis.
- Tenaga kesehatan dalam mendeteksi kasus sejak dini.
- Masyarakat umum sebagai ujung tombak pengawasan.
Upaya pencegahan juga mencakup sistem registrasi kelahiran yang lebih ketat, kampanye edukasi publik tentang bahaya perdagangan anak, serta penguatan program perlindungan berbasis komunitas. Di sisi hukum, proses peradilan harus mengutamakan pemulihan trauma korban dan tetap mempertimbangkan aspek keadilan bagi mereka yang terdampak.






