
Tren Flexing di Media Sosial: Lebih dari Sekadar Pamer
Tak bisa dipungkiri, media sosial kini dipenuhi dengan aksi *flexing*—mulai dari unggahan foto duduk di kelas bisnis pesawat, koleksi barang mewah, hingga liburan ke luar negeri. Tak hanya soal gaya hidup, *flexing* juga kerap menampilkan pencapaian karier atau pendidikan.
Meski terlihat seperti sekadar pamer, perilaku ini ternyata memiliki akar yang lebih dalam. Psikolog dan sosiolog menyatakan bahwa *flexing* tidak hanya tentang kebanggaan diri, melainkan juga mencerminkan kebutuhan psikologis dan sosial seseorang akan validasi dari orang lain.
Mengapa Orang Suka Flexing?
Menurut Psikolog Klinis Maria Fionna Callista, *flexing* dapat dipahami melalui sudut pandang kebutuhan dasar manusia. Selain sandang, pangan, dan papan, manusia juga membutuhkan rasa aman, kasih sayang, serta pengakuan dari lingkungan sosialnya.
“*Flexing* termasuk dalam kebutuhan manusia untuk diakui dan dihargai. Ada juga aspek emosional seperti kebutuhan akan afeksi, keamanan, serta *recognition*,” jelas Fionna dalam wawancara dengan *Kompas.com*.
Peran Media Sosial dalam Memberikan Validasi Instan
Fionna menambahkan, media sosial menjadi wadah yang memberikan umpan balik (*feedback*) cepat melalui *likes* dan komentar pujian. Hal ini memicu seseorang untuk terus melakukan *flexing* karena merasa dihargai.
“Ketika seseorang memamerkan sesuatu di media sosial, mereka langsung mendapat respons. Itu memenuhi kebutuhan psikologis akan pengakuan sosial,” ujarnya.
Flexing sebagai Fenomena Kelas Menengah
Dari perspektif sosiologis, Nia Elvina, sosiolog dari Universitas Nasional (Unas), menyebut bahwa *flexing* lebih banyak terjadi di kalangan masyarakat kelas menengah. Tujuannya jelas: mendapatkan validasi dari orang lain.
“Anggota masyarakat yang melakukan *flexing* ingin divalidasi oleh orang lain. Ini menjadi cara untuk menunjukkan status sosial mereka,” kata Nia.
Flexing: Simbol Status atau Keterasingan Sosial?
Nia menjelaskan, *flexing* sering digunakan sebagai simbol status untuk menunjukkan bahwa seseorang termasuk dalam kalangan mapan atau *old money*. Namun, di balik itu, fenomena ini juga bisa mengindikasikan lemahnya ikatan sosial dengan orang terdekat.
“Ketika seseorang lebih membutuhkan validasi dari media sosial daripada dari lingkaran terdekat, itu bisa menandakan kurangnya hubungan yang kuat dengan orang-orang di sekitarnya,” ungkapnya.
Validasi Sejati Berasal dari Diri Sendiri
Baik Fionna maupun Nia sepakat bahwa kebahagiaan dan pencapaian seharusnya lebih banyak dibagikan kepada orang terdekat daripada diumbar ke publik.
“*Flexing* memang memenuhi kebutuhan akan pengakuan, tetapi validasi paling sehat seharusnya datang dari diri sendiri dan orang-orang terdekat, bukan sekadar dari *likes* di media sosial,” tegas Nia.
Fenomena *flexing* pada akhirnya mencerminkan kompleksitas kebutuhan manusia—baik secara psikologis maupun sosiologis—akan pengakuan dan tempat di tengah masyarakat.