
Perlakuan Bak Putri di TikTok: Romansa Manis atau Hilangnya Otonomi?
Selama setahun belakangan, TikTok diramaikan oleh tren *princess treatment*—konsep kencan di mana perempuan diperlakukan layaknya putri oleh pasangannya. Mulai dari kejutan kecil seperti bunga, makan malam spesial, hingga sikap protektif seperti meminjamkan jaket, tren ini awalnya terkesan manis dan penuh perhatian.
Namun, kontroversi muncul ketika Courtney Palmer, seorang kreator konten asal Utah, AS, mempopulerkan versi ekstremnya. Dalam video viralnya, ia mengaku tidak pernah mengikat tali sepatu sendiri atau bahkan memesan makanan di restoran karena semua itu menjadi “tanggung jawab” suaminya.
Reaksi netizen terbelah. Sebagian melihatnya sebagai bentuk romansa ideal, sementara yang lain mengkritiknya sebagai penghilangan kemandirian perempuan. Komentar pedas bermunculan, mulai dari sindiran tentang *The Handmaid’s Tale* hingga anggapan bahwa hubungan seperti ini mirip “penyanderaan”. Di sisi lain, banyak juga yang membela atau penasaran, menunjukkan betapa tren ini berhasil memicu diskusi luas.
Alasan di Balik Popularitas *Princess Treatment*
Menurut Myka Meier, pakar etiket, fenomena ini muncul sebagai respons terhadap dinamika kencan modern yang kerap terasa transaksional dan tidak pasti.
“Di era yang serba ambigu, romansa klasik justru terasa lebih bermakna,” ujarnya. Ia menekankan bahwa *princess treatment* bukan sekadar soal materi, melainkan bentuk perhatian emosional yang tulus.
Pengaruh budaya pop juga tak bisa diabaikan. Serial seperti *Bridgerton*, *Downton Abbey*, dan *The Gilded Age* menggambarkan kehidupan bangsawan dengan romansa mewah, yang secara tidak langsung membentuk ekspektasi banyak orang.
“Drama-drama periode ini membius penonton dengan fantasi hubungan yang ideal,” tambah Daniel Post Senning, penulis *Manners in a Digital World*.
Dampak Tersembunyi di Balik Tren
Di balik pesonanya, *princess treatment* menyimpan risiko. Genesis Games, terapis hubungan, memperingatkan bahwa ada batasan antara menerima perhatian dan sengaja melemahkan diri demi memenuhi ego pasangan.
“Meminta bunga sesekali berbeda dengan menjadikan diri Anda ‘tidak berdaya’ hanya untuk memuaskan maskulinitas pasangan,” jelasnya.
Blaine Anderson, makcomblang profesional, menegaskan bahwa setiap pasangan berhak menentukan dinamika hubungan mereka—bahkan jika itu berarti menerapkan *princess treatment* versi ekstrem.
“Selama kedua pihak sepakat dan nyaman, tidak ada masalah,” katanya.
Namun, para ahli mengingatkan bahwa hubungan sehat seharusnya dibangun atas dasar kesetaraan, komunikasi, dan saling menghargai. Nusha Nouhi, psikolog klinis, menambahkan bahwa masalah muncul ketika *princess treatment* dikaitkan dengan standar perfeksionis yang tidak realistis.
“Jika fokusnya hanya pada penampilan atau kebiasaan dangkal, bukan pada kedalaman hubungan, itu justru merusak,” tegasnya.
Selain itu, tren ini sering kali dipromosikan oleh kalangan berprivilege finansial, menciptakan ekspektasi tidak adil bagi pasangan dengan sumber daya terbatas.
Intinya, diperlakukan dengan baik adalah hak setiap orang. Namun, cinta sejati bukan tentang satu pihak yang terus-menerus melayani, melainkan dua individu yang saling mendukung dan bertumbuh bersama.