Menara Saidah: Kisah Megah yang Terlupakan di Ibu Kota
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Selatan, Menara Saidah berdiri kokoh namun sepi. Gedung setinggi 28 lantai ini, dengan desain neoklasik yang megah, pernah menjadi kebanggaan di era 1990-an. Dibangun oleh PT Hutama Karya, awalnya bernama Gracindo sebelum diubah untuk menghormati pemiliknya, Saidah Abu Bakar Ibrahim. Pada masa jayanya, gedung ini menjadi saksi bisnis dan pemerintahan, termasuk menjadi markas Sekretariat Panitia Pemilu 1999 dan Kementerian Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Dari Kemegahan Menuju Keterpurukan
Namun, sejak 2007, kemilau Menara Saidah mulai memudar. Isu tentang kemiringan struktur membuat penyewa satu per satu hengkang, meski pengelola bersikeras bahwa bangunan tetap aman. Kini, gedung yang dulu dipenuhi aktivitas itu hanya dikelilingi pagar seng, dijaga oleh petugas keamanan yang bergantian sejak 2014. Ornamen Eropa dan interior mewahnya tertutup debu, menjadi saksi bisu kelalaian pengelolaan.
Potensi yang Terbuang Sia-sia
Lokasi strategis Menara Saidah—berdekatan dengan stasiun KRL, LRT, dan halte TransJakarta—seharusnya menjadi nilai tambah. Sayangnya, pemerintah setempat belum serius menangani revitalisasi. Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta mengungkapkan bahwa gedung ini belum masuk prioritas pengawasan tahun ini. Status kepemilikan swasta dan sengketa hukum yang belum tuntas menjadi penghalang utama.
Banyak yang berpendapat Menara Saidah bisa disulap menjadi hunian vertikal terjangkau atau kawasan bisnis terintegrasi. Namun, tanpa kepastian hukum dan penilaian ulang keamanan strukturnya, gedung ini tetap menjadi simbol pemborosan ruang di tengah kota yang terus berkembang.
Kini, Menara Saidah hanya menjadi pengingat ambisi masa lalu yang kandas—monumen bisu di antara gemerlap Jakarta yang tak pernah berhenti bergerak.




