
Eksklusivitas Hermes Terganggu oleh Maraknya Pasar Reseller
Axel Dumas, CEO Hermes, tidak menyembunyikan rasa frustrasinya terhadap semakin banyaknya tas Birkin baru yang dijual di pasar sekunder oleh para *reseller*. Ia menganggap fenomena ini mengancam hubungan eksklusif yang telah lama dibangun antara Hermes dan pelanggan setianya.
“Saya benar-benar tidak senang melihat tas-tas baru dijual di pasar barang bekas,” ungkap Dumas, seperti dikutip *Business Insider* pada Selasa (5/8/2025). Menurutnya, banyak “pelanggan palsu” yang sengaja membeli tas di butik Hermes hanya untuk kemudian menjualnya kembali demi keuntungan pribadi.
“Mereka menghalangi kami melayani pelanggan sejati. Ini sangat mengkhawatirkan,” tegasnya.
Lalu, seberapa sulit sebenarnya mendapatkan tas ikonik seperti Birkin atau Kelly?
Sulitkah Membeli Tas Hermes?
Hermes Bertumpu pada Eksklusivitas

Berbeda dengan merek mewah lainnya, Hermes mengandalkan kelangkaan, kemewahan, dan eksklusivitas sebagai daya tarik utamanya. Pada 2023, strategi ini berhasil membawa pendapatan tahunan Hermes mencapai 14,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 337,6 triliun), menurut *Business Insider*.
Hermes tidak membanjiri media sosial dengan promosi, tidak memiliki akun TikTok, dan tidak membagikan tas gratis kepada selebritas. Pasalnya, produksi tas tangan mereka sangat terbatas, dan merek ini harus selektif dalam memilih siapa yang berhak membelinya.

“Hermes bergerak berdasarkan pasokan, bukan permintaan. Mereka tidak bisa tiba-tiba memproduksi lebih banyak,” jelas Erwan Rambourg, Kepala Riset Konsumen dan Ritel Global HSBC, seperti dilaporkan *CNN*.
Sistem penjualan Hermes pun kerap dianggap misterius. Tas Birkin dan Kelly, misalnya, hanya ditawarkan kepada pelanggan yang sudah memiliki riwayat pembelian sebelumnya. Selain itu, Hermes sangat ketat dalam mengontrol distribusi produknya—tidak pernah memberikan diskon atau menurunkan harga.
Tas-tas ikonik seperti Birkin dan Kelly bahkan tidak dijual secara daring maupun dipajang di butik.
Harga Melambung, Pasar Semakin Sulit Terjangkau

Tas Birkin, yang dikenal sebagai simbol status sosial, kini semakin sulit didapatkan oleh pembeli asli. Kelangkaan stok dan sistem antrean ketat Hermes dimanfaatkan oleh *reseller* untuk menjual tas tersebut dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Koyaana Redstar, pakar keaslian tas mewah, menyebut praktik ini seperti perjudian yang tidak selalu menguntungkan. Banyak pembeli berharap bisa menjual kembali tas mereka dengan harga fantastis, namun kenyataannya, harga di pasar sekunder tidak selalu sesuai ekspektasi.
“Ketika kami menawarkan harga di bawah eceran, mereka marah. Mereka ingin harga yang sama dengan nilai tas tersebut,” ujar Redstar.
Meski begitu, ia mengakui bahwa tas klasik dari merek seperti Hermes dan Goyard memang memiliki potensi keuntungan tinggi di pasar *resale*, terutama jika dijual dalam kondisi seperti baru atau edisi langka.
Pasar Barang Mewah Terbelah

Meski Hermes mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 8% atau mencapai delapan miliar euro pada kuartal terakhir, harga sahamnya justru turun 4,5% setelah pengumuman kinerja keuangan. Penurunan ini terjadi di tengah perlambatan pasar barang mewah global.
Sementara itu, pesaing utama Hermes, LVMH, melaporkan penurunan pendapatan sebesar 4% dan laba bersih sebesar 22% pada paruh pertama 2025.
Maraknya tas Birkin di pasar sekunder tidak hanya mendorong inflasi harga, tetapi juga mengancam eksklusivitas merek yang selama ini dijaga ketat oleh Hermes. Dengan produksi terbatas dan sistem distribusi yang selektif, kehadiran *reseller* membuat pelanggan setia merasa semakin tersisih.