
Publik kembali diguncang kabar mengejutkan: Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan era Jokowi, kini berstatus tersangka. Meski asas praduga tak bersakit harus dijunjung tinggi, kasus ini memantik refleksi mendalam tentang integritas para pemimpin.
Dulu, Nadiem dipuja sebagai wajah baru meritokrasi—lulusan universitas ternama, pendiri startup sukses, dan simbol birokrasi modern. Namun, kini namanya terseret dalam kasus dugaan korupsi yang mencoreng citra elite terdidik.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial: benarkah gelar akademik dan latar belakang keluarga terpandang menjadi jaminan moral saat berkuasa? Atau justru atribut-atribut itu menjadi topeng yang menyamarkan penyalahgunaan wewenang?
Elite Terdidik dan Paradoks Moral
Belakangan, banyak kasus korupsi justru melibatkan figur-figur berpendidikan tinggi, berasal dari kalangan elite, bahkan dikenal religius. Mereka sering dianggap panutan, tapi di balik itu, terungkap praktik korupsi yang merugikan publik.
Salah satu contoh mencolok adalah Juliari Batubara, mantan Mensos era Jokowi, yang divonis bersalah menyelewengkan dana bantuan sosial di masa pandemi. Padahal, ia tumbuh di keluarga mapan, mengenyam pendidikan berkualitas, dan punya jejaring kuat. Justru privilege inilah yang memberinya akses untuk menyalahgunakan kekuasaan—seolah korupsi hanya rutinitas biasa.
Nadiem dan Juliari mencerminkan paradoks serupa:
– Di satu sisi, mereka datang dengan narasi modernitas dan profesionalisme.
– Di sisi lain, justru terjerat kasus yang merusak kepercayaan publik.
Fakta ini membuktikan bahwa latar belakang mentereng tak otomatis membentuk integritas. Bahkan, simbol-simbol itu justru memberi legitimasi sosial yang membuat publik sulit kritis.
Sorotan kini juga mengarah ke Yaqut Cholil Qoumas, mantan Menag era Jokowi, yang berasal dari keluarga pesantren ternama. Ia disebut berpotensi menghadapi masalah hukum terkait penyelenggaraan haji. Semakin sering kita melihat elite “berpredikat baik” justru terjerat kasus hukum.
Kesalehan yang Tak Menjamin Integritas
Hannah Arendt dalam *Eichmann in Jerusalem* mengenalkan konsep banality of evil—kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang hanya menjalankan peran tanpa refleksi moral. Mirip dengan itu, elite kita sering bersembunyi di balik simbol agama, pendidikan, atau kesantunan, sambil melakukan penyimpangan.
Contoh nyata:
– Banyak pejabat mengaku membela rakyat, tapi LHKPN mereka mencatat kekayaan fantastis tanpa transparansi.
– Figur religius berbicara tentang moralitas, tapi kebijakannya justru merugikan publik.
Arendt mengingatkan: kejahatan terbesar justru dilakukan oleh mereka yang tampak “normal”. Dalam konteks Indonesia, politik dinasti dan simbol moralitas sering menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan yang sebenarnya korup.
Demokrasi Butuh Sistem, Bukan Hanya Figur “Baik”
Demokrasi tidak memerlukan pemimpin yang sempurna secara moral, melainkan sistem yang transparan dan akuntabel. Ancaman terbesar bukan pada tirani yang terang-terangan, tapi pada keengganan publik untuk kritis terhadap kekuasaan yang “tampak wajar”.
Kasus Nadiem dan lainnya menjadi pengingat: atribut luar seperti pendidikan atau kesalehan tak boleh membuat kita lengah. Yang dibutuhkan adalah mekanisme pengawasan kuat dan kesadaran kolektif untuk terus mempertanyakan kekuasaan.