Potret Kontroversial: Ketika Pelari dan Fotografer Berbeda Pandangan di Ruang Publik

Isu pengambilan foto pelari di tempat umum tanpa izin sedang hangat diperbincangkan. Di satu sisi, para pelari merasa hak privasinya dilanggar, terutama ketika gambar mereka diperjualbelikan secara online. Sementara itu, fotografer berargumen bahwa ruang publik adalah area bebas untuk mengabadikan momen. Bagaimana sebenarnya kedua perspektif ini bisa dipertemukan?

Pelari: “Tempat Umum Bukan Alasan untuk Mengabaikan Privasi”

Bagi sebagian pelari, seperti Danar Kalingga, menemukan foto dirinya di platform seperti FotoYu tanpa persetujuan terasa mengganggu. Terlebih, momen yang terekam sering kali tidak ideal—saat mereka kelelahan, tidak siap, atau bahkan sedang menyesuaikan pakaian.

Danar menegaskan bahwa meskipun ia berada di ruang publik, bukan berarti hak privasinya hilang. Ia merasa tidak seharusnya harus bersusah payah menghindari kamera hanya untuk melindungi diri. Meski sudah mencoba strategi seperti mengenakan topi atau mengubah rute lari, rasa tidak nyaman tetap muncul.

Fotografer: Antara Kreativitas, Bisnis, dan Tanggung Jawab

Beberapa fotografer, seperti Ibra, mengakui bahwa motivasi utama mereka adalah keuntungan finansial. Bagi mereka, ruang publik adalah wilayah bebas untuk memotret tanpa harus meminta izin terlebih dahulu—terutama dalam situasi dengan banyak subjek.

Namun, tidak semua fotografer sepakat. Joshua Alexander, misalnya, menekankan pentingnya etika dalam fotografi. Ia membedakan antara karya dokumenter dan komersial. Jika tujuannya untuk dijual, izin dari subjek foto mutlak diperlukan. Joshua menyarankan agar fotografer memberikan tanda sebelum memotret, sehingga hanya mereka yang bersedia yang menjadi bagian dari hasil karya.

Ahli Bicara: Etika dan Hukum Harus Jadi Pedoman

Menurut Rakhmat Hidayat, seorang sosiolog dari UNJ, fenomena ini menunjukkan betapa batas antara ruang publik dan privasi semakin samar. Meski seseorang berada di tempat umum, hak privasinya tetap harus dihormati. Kesadaran dari fotografer sangat penting untuk menghindari dampak psikologis yang mungkin dialami oleh subjek foto.

Dari sisi hukum, Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengingatkan bahwa wajah termasuk data pribadi yang dilindungi undang-undang. Penggunaan foto untuk kepentingan komersial tanpa izin melanggar UU Perlindungan Data Pribadi dan UU ITE. Masyarakat berhak melaporkan pelanggaran semacam ini.

Penutup

Persoalan ini mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan hak privasi. Ruang publik memang terbuka, tetapi bukan berarti privasi seseorang boleh diabaikan. Etika dan hukum menegaskan bahwa persetujuan adalah kunci, khususnya untuk penggunaan komersial. Tanggung jawab tidak hanya terletak pada fotografer, tetapi juga pada platform yang memfasilitasi distribusi foto-foto tersebut.