
Gerakan Rakyat dan Desakan Perubahan Sistem Partai Politik
Jika gerakan masyarakat berhasil mendorong perubahan tata kelola negara, maka partai politik harus menjadi prioritas utama yang diperbaiki. Selama lebih dari sepuluh tahun, publik telah menyaksikan secara langsung bagaimana partai politik beroperasi—bukan sebagai wakil rakyat, melainkan sebagai alat kepentingan elite.
Faktanya, seluruh penyelenggara negara saat ini hanyalah “perpanjangan tangan” partai. Rakyat tidak pernah benar-benar memilih secara bebas; mereka hanya diberi pilihan kandidat yang sudah disaring oleh partai. Mulai dari presiden, wakil presiden, kepala daerah, hingga anggota DPR/DPRD, semuanya adalah hasil seleksi partai sebelum akhirnya dipilih rakyat. Bahkan, jabatan menteri pun kerap diisi berdasarkan rekomendasi partai.
Akibatnya, pejabat lebih patuh pada kepentingan elite partai daripada aspirasi masyarakat. Terciptalah jurang lebar antara kebutuhan rakyat dan agenda politik partai.
Aksi Agustus 2025: Momen Penting untuk Perubahan
Menurut Katz dan Mair (2009), model partai seperti ini disebut Partai Kartel—sebuah sistem di mana partai tidak lagi mewakili rakyat, melainkan berubah menjadi kelompok elite yang saling bersekutu untuk menguasai sumber daya negara.
Mengenal Partai Kartel
Dalam penelitian berjudul *The Cartel Party Thesis: A Restatement*, Katz dan Mair menjelaskan bahwa salah satu masalah demokrasi modern adalah munculnya partai kartel. Partai tidak lagi menjadi penyambung lidah rakyat, melainkan berubah menjadi kelompok eksklusif yang berkolaborasi mempertahankan kekuasaan.
Ciri-ciri partai kartel meliputi:
– Ketergantungan pada anggaran negara
– Fokus hanya pada pemilu
– Kolusi antarpartai
– Hubungan yang lemah dengan masyarakat
Di Indonesia, fenomena ini mudah terlihat tanpa perlu analisis mendalam. Situasi semakin buruk dengan menguatnya kekuasaan ketua umum partai, yang menjadi pusat kendali utama. Loyalitas kader lebih mengarah pada pimpinan partai daripada ideologi partai itu sendiri.
Akibatnya, fungsi partai sebagai wadah kaderisasi dan penyalur aspirasi rakyat semakin memudar. Sistem *checks and balances* antarlembaga negara pun tidak berjalan optimal.
Mimpi Partai Politik yang Ideal
Bayangkan jika partai benar-benar menjadi pilar demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Misalnya, ketika kesenjangan sosial melebar, partai bisa mendorong aturan pembatasan gaji—dari level tertinggi hingga terendah—tidak lebih dari tujuh hingga delapan kali lipat. Partai seharusnya menjadi benteng melawan kapitalis, bukan malah berkompromi dengan mereka.
Andai rekrutmen politik dilakukan secara transparan dan profesional. Calon legislatif atau kepala daerah harus memenuhi syarat integritas dan kompetensi yang ketat. Rakyat pun akan mendapat pilihan terbaik.
Bayangkan jika menteri yang diusulkan partai benar-benar orang-orang berkapabilitas tinggi. Kebijakan akan lahir dari dasar keilmuan dan visi jangka panjang, bukan kepentingan sesaat.
Andai partai terbuka dalam laporan keuangan, menyusun program berbasis riset, dan mengambil keputusan secara kolektif—bukan sekadar mengikuti kehendak ketua umum.
Bayangkan jika partai tidak hanya muncul saat pemilu, tetapi terus bekerja untuk rakyat, memperjuangkan keadilan, dan menjauhi oligarki ekonomi.
Sebenarnya, konstitusi sudah memberikan ruang bagi partai untuk mewujudkan hal-hal ini. Namun, nyatanya, semua masih sekadar mimpi.
Langkah Menuju Perubahan
Partai politik harus ditata ulang secara serius. Kewenangan, *checks and balances*, dan manajemen internal perlu diatur lebih ketat agar partai kartel tidak terus berkembang.
Mengikis dominasi partai kartel tidak cukup dengan seruan moral. Diperlukan tekanan konsisten dari masyarakat sipil dan momentum besar—seperti demonstrasi—untuk memaksa perubahan. Setelah itu, sistem harus terus diawasi agar tercipta tata kelola partai yang demokratis dan berorientasi pada rakyat.