
IDAI Tekankan Pentingnya MPASI Berbasis Ilmiah dengan Mempertimbangkan Kearifan Lokal
Dalam seminar daring bertajuk *“Pola Asuh Tradisional vs Pengetahuan Modern: Tantangan dalam Pemberian MPASI”*, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menegaskan bahwa makanan pendamping ASI (MPASI) harus diberikan sesuai rekomendasi medis, tanpa mengabaikan potensi sumber gizi lokal. Acara yang digelar pada Selasa (12/8/2025) ini menghadirkan pembahasan mendalam tentang praktik pemberian MPASI di masyarakat.
Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Ketua Pengurus Pusat IDAI, menekankan pentingnya pendekatan edukatif dalam menyikapi perbedaan pola asuh. *“Tidak perlu menyalahkan, tapi juga tidak boleh diam saat ada kesalahan. Protein hewani lokal, misalnya, harus lebih banyak disosialisasikan,”* ujarnya.
Masa Emas 1.000 Hari Pertama
Dr. Winra Pratita dari IDAI mengungkapkan, 80% perkembangan otak anak terjadi dalam 1.000 hari pertama kehidupan—mulai dari kandungan hingga usia dua tahun. *“MPASI yang tepat waktu, cukup gizi, aman, dan benar adalah kunci tumbuh kembang optimal,”* jelasnya.
Setelah pemberian ASI eksklusif selama enam bulan, anak perlu mendapat MPASI dengan komposisi seimbang: karbohidrat, protein hewani, lemak, serta sayur dan buah. Protein hewani seperti telur, ikan, daging, dan hati ayam sebaiknya diberikan setiap hari. Selain itu, kebersihan makanan, mulai dari cuci tangan hingga penyimpanan yang benar, juga tak boleh diabaikan.
Mitos dan Praktik Keliru yang Masih Beredar
IDAI membeberkan sejumlah kebiasaan tradisional yang berisiko bagi bayi, seperti:
- Memberikan madu pada bayi di bawah 1 tahun (risiko *infant botulism*)
- Memperkenalkan makanan padat terlalu dini (di bawah 6 bulan), yang bisa sebabkan diare, alergi, atau tersedak
- Hanya memberikan satu jenis makanan (misalnya pisang), berpotensi memicu kekurangan gizi
- Menunda protein hewani tanpa alasan medis, bertentangan dengan saran WHO dan IDAI
- Mengunyah makanan untuk bayi (kurang higienis)
- Menunggu tumbuh gigi sebelum memberi MPASI (tidak diperlukan)
*“Sayur dan buah tidak bisa cegah *stunting*—hanya protein hewani yang mampu,”* tegas Piprim.
Waspadai Tren MPASI di Media Sosial
Winra mengingatkan, meski media sosial mudah diakses, tidak semua tren MPASI yang viral sesuai rekomendasi kesehatan. Beberapa pola yang perlu diwaspadai antara lain:
– MPASI ala Jepang (dimulai sejak lima bulan dengan protein hewani minim)
– Metode *Baby Led Weaning* (BLW) yang berisiko sebabkan kekurangan zat besi atau tersedak jika tidak diawasi
Peran Keluarga dan Lingkungan
Edukasi MPASI, menurut Winra, tidak hanya untuk ibu—seluruh keluarga, termasuk kakek-nenek, harus paham agar tidak terjadi konflik penerapan. *“Ibu mungkin sudah tahu, tapi jika lingkungan tidak mendukung, praktik keliru bisa terus terjadi,”* ujarnya.
IDAI menyarankan penggunaan bahasa sederhana, contoh bahan pangan lokal, serta edukasi berkelanjutan lewat media. Peran ibu sebagai pengambil keputusan tetap sentral, dengan dukungan tenaga kesehatan dan keluarga.