
Plagiarisme dalam industri mode masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Tak sekadar dilakukan oleh produsen yang menyalin desain orang lain, praktik ini juga didukung oleh para influencer yang tanpa sadar mempromosikan barang tiruan. Dino Augusto, ahli Fashion dan Komunikasi, menekankan bahwa influencer seharusnya lebih selektif dalam memilih produk yang mereka endors. Menurutnya, mempromosikan barang palsu—sadar atau tidak—ikut memperpanjang umur budaya menjiplak di dunia kreatif.
Pengaruh besar influencer terhadap konsumen
Sebagai tokoh yang diikuti oleh ribuan hingga jutaan orang, influencer punya kekuatan besar dalam membentuk tren belanja. Apa yang mereka pakai atau rekomendasikan sering kali langsung diikuti oleh penggemarnya. Namun, Dino mengingatkan bahwa pengaruh tersebut harus diimbangi dengan kesadaran etis. Jika mereka mempromosikan barang tiruan, masyarakat akan semakin bingung membedakan mana karya asli dan mana yang hasil jiplakan.
Literasi etika masih rendah
Dino menyoroti minimnya pemahaman etika bisnis dan hak cipta di kalangan influencer. Banyak dari mereka lebih fokus pada nilai kontrak atau popularitas produk ketimbang memastikan keasliannya. “Penting sekali ada pendidikan untuk influencer. Mereka harus paham apakah hanya mengejar keuntungan atau benar-benar ingin menyampaikan nilai positif,” ucapnya dalam wawancara dengan Kompas.com, Kamis (21/8/2025).
Dampak promosi produk tiruan
Mengiklankan barang palsu tak hanya merugikan desainer asli yang karyanya dicuri, tetapi juga memperburuk kebiasaan meniru di industri fashion. Produk KW mungkin terjangkau dan laris, tetapi imbasnya, kreativitas bisa mandek. Etika bisnis pun semakin tergerus ketika masyarakat melihat praktik ini didukung oleh figur publik. Hal ini jelas mengancam masa depan industri kreatif.
Pentingnya pendidikan influencer
Dino menyarankan agar edukasi etika bagi influencer ditingkatkan. Baik melalui komunitas, agensi, atau kolaborasi dengan merek, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) serta perbedaan antara terinspirasi dan menjiplak. Media sosial juga bisa jadi alat untuk mengedukasi publik tentang pentingnya menghormati karya orisinal. “Edukasi harus terus dilakukan, baik lewat platform digital maupun pendidikan umum. Masyarakat perlu paham cara menghargai kreasi orang lain,” tegasnya.