
Dari Puncak Inovasi ke Lembah Hukum: Kisah Nadiem Makarim
Satu dekade silam, Nadiem Makarim melambungkan namanya sebagai sosok pembawa angin perubahan. Ia menggagas Gojek, platform yang mentransformasi transportasi konvensional menjadi solusi digital. Bermula dari ide sederhana, Gojek menjelma menjadi unicorn pertama Indonesia, bahkan mencapai status decacorn. Nadiem dipuji sebagai pionir—pemuda yang membuktikan bahwa inovasi lokal mampu bersaing di kancah global.
Di balik kesuksesannya, jutaan pengemudi ojek menemukan mata pencaharian baru, sementara masyarakat menikmati kemudahan hidup berkat teknologi. Puncaknya, pada 2019, Presiden Joko Widodo mengajaknya bergabung dalam kabinet sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Langkah ini disambut antusiasme publik, yang berharap profesional muda seperti Nadiem bisa membawa terobosan ke dunia birokrasi.
Namun, nasib berbalik lima tahun kemudian. Pada Kamis (4/9), Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun di Kementerian Pendidikan. Perubahan spesifikasi dari Windows ke Chromebook diduga sarat kepentingan pribadi, dengan indikasi *mens rea* (niat korupsi).
Baca juga: Perjalanan Kasus Korupsi Laptop Chromebook: Nadiem hingga Dirjen Jadi Tersangka
Antara Dua Dunia yang Berbeda
Kisah Nadiem menjadi ironi yang pahit. Dari sosok inspiratif di dunia bisnis, ia kini berhadapan dengan jerat hukum. Reputasinya yang semula tak tercela di sektor korporasi, ternyata tak lantas menjadi tameng di ranah birokrasi. Perbedaan mendasar antara logika bisnis dan pemerintahan pun mencuat: bisnis berfokus pada efisiensi dan kepuasan pelanggan, sementara birokrasi dipenuhi aturan ketat dan risiko politik.
Seperti diungkapkan Mahfud MD, “Korupsi bukan hanya soal keserakahan, tapi juga kelemahan sistem yang membuka celah.” Nadiem mungkin datang dengan niat baik, namun dinamika kekuasaan dan sistem yang rentan bisa menjerat siapa saja.
Ia bukan satu-satunya figur di lingkaran Jokowi yang tersangkut kasus hukum. Nama-nama seperti Immanuel Ebenezer, Silfester Matutina (buron), hingga mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang kerap diperiksa KPK, menjadi bukti betapa rapuhnya batas antara kekuasaan dan hukum.
Peringatan Lord Acton kembali relevan: *”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”* Kekuasaan sering kali menawarkan perlindungan semu—sampai akhirnya kursi itu ditinggalkan, dan hukum bekerja tanpa kompromi.
Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?
Refleksi bagi Profesional dan Sistem
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi para profesional yang beralih ke pemerintahan. Kesuksesan di sektor swasta tidak otomatis menjamin kelancaran di birokrasi. Seperti diingatkan Guy Peters, birokrasi publik memiliki *accountability* berlapis: hukum, lembaga audit, parlemen, hingga media. Sementara di dunia bisnis, fokus utama hanya pada konsumen dan laba.
Amartya Sen menambahkan, korupsi adalah *”governance failure”*—bukan sekadar kegagalan moral individu. Sistem yang lemah bisa menjerat siapapun, termasuk mereka yang datang dengan idealisme tinggi.
Pesan untuk Masa Depan
Ironi Nadiem seharusnya tidak dilihat semata sebagai tragedi personal, melainkan cermin dari sistem yang perlu diperbaiki. Reformasi pendidikan mustahil tercapai tanpa perbaikan tata kelola. Laptop, kurikulum, atau digitalisasi hanyalah alat; tanpa tata kelola yang bersih, semuanya kehilangan makna.
Publik juga perlu menghindari penghakiman instan. Status tersangka bukan vonis—biarkan pengadilan yang memutuskan. Yang lebih penting, masyarakat harus mendorong perbaikan sistem agar kasus serupa tidak terulang.
Kisah Nadiem adalah potret dua wajah Indonesia: inovasi yang membanggakan dan korupsi yang menggelayuti. Dari simbol kemajuan, ia kini menjadi peringatan bahwa kekuasaan bisa mengangkat, tapi juga menghancurkan.
Baca juga: Frustrasi Kolektif Rakyat: Keharusan Sahkan RUU Perampasan Aset
Sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, *”Kekuasaan bukanlah panggung untuk menumpuk kuasa, melainkan ladang untuk menanam kebajikan.”* Pesan ini terasa lebih relevan dari sebelumnya. Sebab, pada akhirnya, sejarah tidak hanya mengingat siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan itu digunakan.