
Perceraian di Usia Senja Bukan Tanpa Dampak: Risiko Depresi Mengintai
*Grey divorce*—istilah untuk perceraian pasangan berusia di atas 50 tahun dengan pernikahan lebih dari dua dekade—sering dianggap lebih “mudah” karena kematangan emosional dan pengalaman hidup yang panjang. Namun, anggapan itu keliru. Faktanya, perpisahan di usia lanjut tetap berpotensi memicu gangguan psikologis serius, termasuk depresi, akibat berbagai faktor yang melekat pada dinamika hubungan jangka panjang.
Penyebab Rentannya Kesehatan Mental Pasca-*Grey Divorce*
Berikut beberapa alasan mengapa perceraian di usia senja bisa menjadi pukulan berat bagi kesehatan mental:
- Ditinggalkan Tanpa Persetujuan: Salah satu pihak yang tidak menghendaki perceraian mungkin merasa terabaikan atau ditolak, meski telah berkomitmen puluhan tahun dalam pernikahan.
- Krisis Identitas: Banyak orang mengaitkan diri mereka dengan peran sebagai pasangan atau orang tua. Ketika pernikahan berakhir, hilangnya identitas itu bisa memicu kebingungan dan tekanan emosional.
- Hilangnya Sistem Dukungan: Pasangan yang lama bersama biasanya saling mengandalkan untuk dukungan emosional. Pasca-perceraian, mereka harus berjuang membangun jaringan sosial baru dari nol.
- Kecemasan akan Masa Depan: Kekhawatiran tentang stigma sosial, kesulitan finansial, atau ketidakpastian hidup baru sering menghantui pasangan lanjut usia yang bercerai.
- Guncangan Ekonomi: Terutama bagi pasangan yang bergantung secara finansial, seperti ibu rumah tangga, perceraian bisa memicu masalah keuangan sekaligus meruntuhkan harga diri.
Jelas bahwa *grey divorce* bukan sekadar perpisahan biasa. Meski dianggap lebih “bijak” karena usia, dampak psikologisnya tetap nyata dan berpotensi mengganggu stabilitas mental pasangan yang mengalaminya.