
Kisah Maba Sangaji: Ketika Hak Adat dan Alam Diabaikan
Kasus warga adat Maba Sangaji mengungkap luka mendalam yang dialami masyarakat adat dalam perjuangan mempertahankan tanah leluhur dan lingkungan hidup mereka. Konflik ini menjadi cermin nyata dari benturan antara agenda pembangunan ekonomi, terutama industri ekstraktif, dengan hak asasi manusia, hak masyarakat adat, serta hak atas lingkungan yang sehat.
Ketidakadilan yang Tersistematisasi
Vonisme terhadap 11 warga adat, meski hanya berupa hukuman penjara singkat, menjadi bukti nyata ketimpangan kekuasaan. Alih-alih dilindungi, mereka yang seharusnya diakui sebagai penjaga alam justru dihukum. Padahal, instrumen hukum nasional dan internasional seperti UUD 1945, UU Perlindungan Lingkungan Hidup, hingga UNDRIP dan ICCPR seharusnya menjadi tameng bagi hak-hak mereka.
Hukum yang Tak Netral
Kasus ini juga menyingkap wajah hukum yang tidak berpihak pada keadilan ekologis. Alih-alih melindungi kehidupan, hukum sering kali menjadi alat bagi kepentingan modal. Kritik terhadap positivisme hukum yang kering nilai semakin menguat, menunjukkan bahwa keputusan hukum bukanlah sesuatu yang objektif, melainkan sarat dengan pilihan politik dan ekonomi.
Dampak yang Menyebar
Bagi pelaku usaha seperti Rusdi di sektor perikanan, kerusakan lingkungan adalah ancaman nyata. Di Muara Angke, Jakarta Utara, atau wilayah pesisir lainnya, degradasi ekosistem langsung menggerus mata pencaharian masyarakat. Kasus Maba Sangaji, meski berlokasi berbeda, menggambarkan pola serupa: masyarakat lokal yang berjuang melindungi alam justru berhadapan dengan kriminalisasi.
Semoga kisah ini mampu membuka ruang diskusi tentang bagaimana pembangunan bisa berjalan tanpa mengorbankan keadilan, hak asasi manusia, dan kelestarian lingkungan. Indonesia perlu menemukan jalan tengah yang adil bagi semua pihak.