Kisah Sri Susuhunan Pakubuwono XIII: Pemimpin yang Menyatukan Tradisi dan Modernitas
Dari balik tembok Keraton Surakarta Hadiningrat, sosok Sri Susuhunan Pakubuwono XIII telah menjadi simbol harmoni antara warisan leluhur dan dinamika zaman. Lahir sebagai Gusti Raden Mas Suryadi pada 28 Juni 1948, ia adalah putra sulung Sri Susuhunan Pakubuwono XII. Karena kondisi kesehatannya yang kerap terganggu di masa kecil, namanya kemudian diubah menjadi GRM. Suryo Partono. Sebagai calon penerus takhta, ia menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Hangabehi.
Jalan Menuju Tahta
Ketika ayahandanya wafat pada 2004, KGPH Hangabehi resmi dinobatkan sebagai Susuhunan Pakubuwono XIII. Namun, perjalanannya tidak berjalan mulus. Konflik dengan saudaranya, KGPH. Tejowulan, sempat memicu ketegangan terkait klaim kepemimpinan. Berkat pendekatan diplomasi dan kesabaran, perselisihan ini berakhir dengan rekonsiliasi pada 2012, di mana Tejowulan akhirnya mengakui kedaulatan Pakubuwono XIII.
Pilar Kepemimpinan dan Budaya
Nilai-nilai yang Dipegang Teguh:
- Mengutamakan perdamaian, kesabaran, dan dialog sebagai solusi konflik.
- Berkomitmen melestarikan budaya Jawa melalui upacara adat, pagelaran wayang, dan pameran pusaka (tosan aji). Pada 2018, ia memecahkan rekor MURI untuk pagelaran wayang kulit dengan kelir terpanjang.
- Mendukung program sosial, termasuk kolaborasi dengan pemerintah dalam vaksinasi Covid-19 dan gerakan Save Kraton.
Warisan yang Abadi
Dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan bijaksana, Pakubuwono XIII menekankan pentingnya nilai keluarga, tanggung jawab sosial, serta pengendalian diri. Hingga akhir hayatnya di usia 77 tahun, ia meninggalkan jejak kepemimpinan yang mengedepankan moralitas dan kedekatan dengan rakyat. Warisannya tetap relevan, menjadi penuntun dalam menghadapi tantangan masyarakat modern.





