
Gelombang kasus korupsi di tubuh peradilan Indonesia kembali mencuat di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Setidaknya delapan hakim telah berurusan dengan hukum dalam setahun terakhir, mengungkap praktik suap yang merusak integritas lembaga penegak keadilan.
Kasus Suap Hakim
Sejak Oktober 2024, Kejaksaan Agung telah menahan dan mengadili sejumlah hakim, termasuk Hakim Djuyamto dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang kini rutin menghadiri persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat setiap Rabu. Kasus-kasus ini terbagi dalam dua babak besar.
Babak Pertama: Kasus Pembunuhan dan CPO di Surabaya
Tiga hakim PN Surabaya—Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo—serta mantan Ketua PN Jakarta Pusat dan PN Surabaya, Rudi Suparmono, terlibat dalam suap terkait putusan bebas untuk kasus pembunuhan Gregorius Ronald Tannur. Pengacara Lisa Rachmat bekerja sama dengan keluarga terdakwa dan seorang makelar kasus (markus) dari Mahkamah Agung, Zarof Ricar, untuk menyuap hakim. Saat penggeledahan rumah Zarof, ditemukan uang dan emas senilai lebih dari Rp 1 triliun. Para pelaku telah dijatuhi hukuman, dengan vonis tertinggi 16 tahun penjara untuk Zarof.
Babak Kedua: Kasus Suap CPO di Jakarta
Hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, mantan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, serta Panitera Muda nonaktif Wahyu Gunawan, diduga menerima suap Rp 21,9 miliar untuk memuluskan pembebasan korporasi dalam kasus korupsi ekspor CPO. Uang tersebut disalurkan melalui Wahyu Gunawan atas permintaan pengacara Ariyanto. Djuyamto dan Arif Nuryanta telah mengaku bersalah, sementara proses hukum lainnya masih berjalan.
Respons dan Kritik
Ketua MA Sunarto menyatakan kemarahan dan kekecewaannya terhadap perilaku hakim yang terlibat. Ia memperingatkan agar hakim tidak hidup secara hedonis dan memeriksa dugaan mobil mewah hakim yang beredar di media sosial. Ia juga mendorong peningkatan kesejahteraan hakim.
Presiden Prabowo merespons dengan mengumumkan kenaikan gaji hakim, termasuk kenaikan hingga 280% untuk hakim junior. Namun, DPR dan pengamat hukum mengkritik langkah ini, menilai bahwa solusinya tidak cukup hanya dengan menaikkan gaji. Mereka menekankan perlunya perbaikan tata kelola peradilan, pengawasan internal yang ketat, transparansi (seperti pelaporan kekayaan), rekrutmen berbasis merit, digitalisasi, serta peran aktif KPK dalam pencegahan korupsi.
Kasus-kasus ini memperlihatkan betapa korupsi telah menggerogoti lembaga peradilan Indonesia. Meski upaya seperti kenaikan gaji dan teguran keras telah dilakukan, para ahli menilai diperlukan reformasi sistemik yang lebih mendalam untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.