
Kematian seorang anak selalu meninggalkan duka yang tak terukur. Namun, kisah Raya, balita empat tahun asal Sukabumi, bukan sekadar duka—ia adalah tamparan keras yang memaksa kita menghadapi realitas kelam yang tak seharusnya terjadi.
Raya tidak wafat karena penyakit misterius atau bencana alam yang tak terelakkan. Tubuhnya yang kecil justru dikoyak oleh parasit kuno—cacing—yang seharusnya sudah lama menjadi sejarah dalam dunia medis.
Kematiannya adalah ironi pahit di tengah gembar-gembor kemajuan bangsa. Ini adalah bukti nyata bahwa negara telah gagal menjalankan tugas paling mendasar: melindungi nyawa warganya.
Tragedi ini terlalu sering direduksi menjadi sekadar kisah kemiskinan atau kelalaian orang tua. Padahal, jika kita berhenti di situ, kita mengabaikan kebenaran yang lebih mengkhawatirkan: Raya adalah korban sistem yang bobrok. Ia menjadi tumbal birokrasi yang lamban, tuli, dan tak peduli.
Cacing di tubuhnya hanyalah simbol dari parasit sesungguhnya: ketidakpedulian institusi dan prosedur yang lebih diutamakan daripada nyawa manusia. Kematian Raya bukan kecelakaan, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang dibiarkan rusak.
### Tembok Birokrasi yang Mematikan
Nasib Raya semakin suram karena tembok birokrasi yang tak kenal ampun. Ia tak memiliki Kartu Keluarga (KK) atau kepesertaan BPJS Kesehatan. Di negara yang mengaku berlandaskan Pancasila, hak dasar untuk hidup ternyata masih bergantung pada selembar kertas atau plastik.
Tanpa dokumen itu, keluarga miskin seperti Raya terpinggirkan—tak diakui oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Ini bukan sekadar ketidakbecusan birokrasi, melainkan bentuk kekerasan struktural. Negara, dengan aturannya yang kaku, justru menghalangi warganya sendiri dari layanan kesehatan.
Seharusnya, kondisi keluarga Raya menjadi alarm bagi aparat desa untuk segera bertindak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: sistem menunggu, pasif, dan memaksa warga paling rentan untuk berjuang sendiri dalam labirin prosedur yang rumit.
Logika birokrasi yang terbalik ini mengutamakan dokumen di atas nyawa manusia. Setelah tragedi terjadi, drama saling tuding pun dimulai. Gubernur menyalahkan kabupaten, bupati menyoroti pola asuh, sementara semua pihak berjanji “akan mengevaluasi.”
Ini adalah sandiwara klasik setiap kali kegagalan sistem terungkap. Tujuannya bukan solusi, melainkan mengalihkan amarah publik dan membagi kesalahan hingga tak ada yang bertanggung jawab.
Pernyataan prihatin pejabat terdengar hampa tanpa pengakuan jujur atas kegagalan kolektif. Fokus pada “pola asuh” hanyalah cara mudah untuk lepas tanggung jawab.
Memang, peran orang tua penting. Tapi negara hadir untuk turun tangan ketika keluarga tak mampu. Reaksi pasca-tragedi ini membuktikan budaya birokrasi yang defensif, lebih peduli citra daripada nyawa rakyat.
Tanpa akuntabilitas tegas dan sanksi nyata bagi yang lalai, tragedi seperti Raya akan terus berulang—sebagai pengingat betapa janji negara kerap tinggal janji.
### Jaring Pengaman yang Rapuh
Di tengah drama pejabat yang sibuk saling menyalahkan, muncul pertanyaan mendasar: Siapa yang benar-benar hadir untuk Raya?
Ketika negara dengan anggaran triliunan dan ribuan aparatnya gagal, justru inisiatif warga biasa yang menyelamatkan. Rumah Teduh Sahabat Iin, sebuah rumah singgah berbasis komunitas, lah yang menanggung beban seharusnya jadi tanggung jawab negara.
Merekalah yang membayar Rp 23 juta tagihan rumah sakit Raya—setelah ia ditolak sistem yang seharusnya melindunginya.
Ini adalah potret pilu bangsa kita. Di satu sisi, ada kisah inspiratif tentang solidaritas warga. Tapi di sisi lain, ini bukti memalukan betapa negara absen.
Fenomena “rakyat bantu rakyat” yang kerap dibanggakan sebagai gotong royong, sebenarnya adalah tanda darurat. Kita terbiasa menambal lubang kelalaian negara dengan donasi dan kerja sukarela—seolah itu hal normal.
Kisah Rumah Teduh seharusnya tak membuat kita bangga, melainkan marah. Marah karena nyawa seorang anak ternyata lebih berarti bagi segelintir relawan daripada bagi negara yang berdaulat.
Tragedi Raya harus jadi titik balik. Solidaritas warga adalah jaring pengaman yang mulia, tapi kita tak bisa selamanya bergantung padanya. Sudah waktunya menuntut negara yang benar-benar bekerja—agar tak ada lagi Raya-Raya lain yang nasibnya bergantung pada belas kasihan sesama.