Keterwakilan Perempuan di AKD DPR: Langkah Maju Demokrasi Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan keterlibatan perempuan di seluruh Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR, termasuk di posisi kepemimpinan, mendapat apresiasi dari Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya. Menurutnya, kebijakan ini menjadi bukti kemajuan demokrasi Indonesia, bahkan melampaui standar yang diterapkan di negara-negara demokrasi besar sekalipun.
Kesetaraan Gender yang Lebih Progresif
Willy menyoroti bahwa aturan ini tidak hanya memperkuat sistem kuota perempuan dalam pemilu, tetapi juga menjamin peran aktif mereka di tingkat pengambilan keputusan. Ia membandingkan bahwa komitmen Indonesia dalam isu kesetaraan gender di parlemen ternyata lebih konkret dibandingkan dengan praktik di Amerika Serikat atau Uni Eropa.
Ketentuan Khusus dalam Putusan MK
MK menegaskan bahwa seluruh AKD—termasuk komisi, Badan Musyawarah (Bamus), dan Badan Legislasi (Baleg)—harus memastikan minimal 30% keterwakilan perempuan, baik sebagai anggota maupun pimpinan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan struktur yang lebih inklusif di lingkungan legislatif.
Peran Strategis Perempuan di DPR
Willy menekankan bahwa perspektif perempuan sangat dibutuhkan dalam tiga fungsi utama DPR: pembuatan undang-undang, pengawasan anggaran, dan evaluasi kinerja pemerintah. Dengan adanya putusan ini, perempuan di parlemen diharapkan dapat berkontribusi lebih maksimal dalam proses-proses strategis tersebut.
Ia juga mendesak DPR untuk segera merevisi tata tertib internal guna menyesuaikan dengan putusan MK. Perubahan tersebut didukung oleh amendemen sembilan pasal dalam Undang-Undang MD3, yang menjadi landasan hukum bagi peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.





