Badut Jalanan: Dari Simbol Keceriaan ke Tanda Tekanan Ekonomi
Dulu, badut identik dengan tawa, warna-warni, dan momen bahagia di pesta anak-anak. Namun, kini di kota-kota seperti Bogor dan Depok, wajah mereka justru kerap mencerminkan perjuangan hidup yang berat. Profesi ini tak lagi sekadar tentang hiburan, melainkan pilihan terakhir bagi orang-orang seperti Soleh dan Irma, yang terjun ke jalanan demi menghidupi diri di tengah sulitnya lapangan kerja dan minimnya pendidikan. Tanpa kostum lengkap atau riasan ceria, penampilan mereka justru kerap memicu ketidaknyamanan, terutama bagi anak-anak yang seharusnya menjadi penikmat utama atraksi mereka.
Dibalik Topeng: Masalah Sosial yang Tak Tertawa
Menurut Rakhmat Hidayat, sosiolog dari UNJ, fenomena ini bukan sekadar soal ketertiban, melainkan cermin masalah ekonomi yang mendalam. Ia menekankan perlunya solusi kreatif, seperti pelatihan keterampilan atau festival badut, agar profesi ini bisa kembali membawa nilai positif sekaligus menjadi mata pencaharian yang layak. Di sisi lain, respons masyarakat pun terbelah—ada yang tersenyum melihatnya, ada pula yang merasa terganggu, tergantung bagaimana para badut ini berinteraksi.
Meski penghasilannya tak menentu dan harus berjam-jam berpanas-panasan, mereka tetap bertahan. Badut jalanan kini bukan lagi sekadar pemecah kebosanan, melainkan simbol nyata dari ketahanan hidup di tengah kesulitan.





