
Suramnya Tamini Square: Dari Pusat Keramaian Menjadi Pusat Kesejukan
Sabtu (2/8/2025) siang, Mal Tamini Square di Pinang Ranti, Jakarta Timur, terasa begitu sunyi. Pusat perbelanjaan yang dulu ramai dikunjungi warga kini seperti kehilangan nyawa. Tak ada keriuhan pengunjung, bahkan rombongan yang biasanya hanya “liat-liat doang”—seperti Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya)—pun tak terlihat.
Pedagang yang masih bertahan hanya duduk lesu di depan kios, menatap kosong lorong mal yang sepi. Hanya segelintir orang yang terlihat bertransaksi, itupun di beberapa kios tertentu seperti elektronik dan pakaian. Banyak toko sudah tutup, termasuk gerai ritel besar dan dua restoran cepat saji yang dulu selalu ramai.
Pandemi dan Runtuhnya Kejayaan
Lusi (55), seorang pedagang pakaian yang masih bertahan, mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 menjadi awal kemunduran Tamini Square. “Banyak kios tutup setelah pandemi. Mal sempat tutup tiga tahun. Ekonomi hancur semua,” ujarnya.
Sebelum pandemi, Lusi memiliki enam kios dengan omzet harian mencapai Rp 7 juta. Kini, ia hanya menyisakan dua kios dan harus merelakan seluruh karyawannya pergi. “Sekarang pendapatan saya cuma Rp 100.000,” keluhnya.
Nasib serupa dialami Subur Kurniawan (35), pemilik kios elektronik. Pendapatannya yang dulu bisa mencapai Rp 25 juta per bulan, kini merosot drastis. “Sekarang kadang cuma Rp 10-15 juta,” ucapnya. Keduanya berharap pemerintah turun tangan membantu pemulihan ekonomi.
Istilah Rojali dan Rohana mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Keduanya bukan nama orang, melainkan akronim yang menggambarkan kebiasaan pengunjung mal:
– Rojali: Rombongan Jarang Beli
– Rohana: Rombongan Hanya Nanya
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, fenomena ini sebenarnya sudah lama ada. Namun, pasca-pandemi, jumlahnya semakin terasa karena daya beli masyarakat yang belum pulih.
“Kalau daya beli tak kunjung membaik, efeknya bisa merembet ke ritel, manufaktur, bahkan sektor keuangan,” tegas Alphonzus.
Kini, Tamini Square hanya menjadi saksi bisu perubahan zaman—dari pusat keramaian menjadi tempat yang sunyi, menunggu sentuhan kebangkitan.