Keterwakilan Perempuan di AKD DPR Masih Terkendala, MK Dorong Perubahan
Isu kesetaraan gender dan kurangnya persiapan kader politik perempuan oleh partai masih menjadi hambatan utama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR. Persoalan ini kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan dalam perkara No. 169/PUU-XXII/2024, yang mendorong revisi UU MD3 untuk memastikan kuota minimal 30% perempuan dalam kepemimpinan AKD.
Peran Krusial Partai Politik
M. Jamiluddin Ritonga, Pengamat Politik dari Universitas Esa Unggul, menegaskan bahwa partai politik memegang peran sentral dalam mewujudkan putusan MK ini. “Partai harus lebih giat menyiapkan kader perempuan yang mumpuni sebagai caleg agar mereka bisa mengisi pos-pos strategis di AKD sesuai bidangnya,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa peningkatan kuantitas dan kualitas legislator perempuan, kebijakan kuota 30% justru berisiko mengurangi efektivitas kerja DPR.
Struktur Politik yang Belum Ramah Perempuan
Titi Anggraini dari Perludem menyoroti akar masalahnya, yaitu budaya politik yang masih didominasi nilai-nilai maskulin. “Proses penentuan anggota AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai dan lobi politik, di mana kepentingan perempuan sering diabaikan,” jelasnya. Selain itu, minimnya pelatihan kepemimpinan dan pengarusutamaan gender di parlemen turut memperlemah posisi perempuan.
Respons dari Pimpinan DPR
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan kesiapan untuk menindaklanjuti putusan MK, termasuk berkoordinasi dengan seluruh fraksi. Anggota DPR seperti Rieke Diah Pitaloka dan Putri Zulkifli Hasan juga menyerukan pentingnya peran partai dalam memperkuat kaderisasi perempuan dan membuka lebih banyak ruang kepemimpinan bagi mereka.
Secara historis, target 30% keterwakilan perempuan di DPR belum pernah tercapai sejak Pemilu 1955 hingga 2019. Saat ini, dari total 580 anggota DPR, hanya 127 (21,9%) yang merupakan perempuan.





