
Pola Asuh Kaku ala VOC: Masih Relevankah di Era Modern?
Gaya Pengasuhan yang Mulai Ditinggalkan
Di tengah perkembangan zaman, banyak orangtua masih memegang keyakinan bahwa disiplin ketat dan pengasuhan otoriter adalah cara terbaik membentuk karakter anak. Namun, muncul pertanyaan: apakah pendekatan seperti ini masih sesuai dengan kebutuhan anak-anak masa kini?
Salah satu pola asuh yang kini banyak diperbincangkan adalah Parenting VOC, istilah yang terinspirasi dari gaya otoriter zaman penjajahan Belanda (*Vereenigde Oostindische Compagnie* atau VOC). Pola ini menempatkan orangtua sebagai penguasa mutlak, sementara anak diharuskan patuh tanpa boleh membantah.
Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental anak, metode pengasuhan seperti ini mulai dianggap ketinggalan zaman.
Pendapat Ahli: Gaya VOC Tak Lagi Sesuai
Menurut Psikolog Meity Arianty, pola asuh ala VOC sudah tidak relevan dengan perkembangan psikologis anak di era modern.
*“Tentu tidak cocok, terutama karena anak-anak sekarang membutuhkan pendekatan yang lebih demokratis, penuh empati, dan mengedepankan komunikasi,”* jelas Meity dalam wawancara dengan Kompas.com, Selasa (5/8/2025).
Dunia saat ini bergerak cepat, dinamis, dan penuh tantangan. Pendekatan otoriter yang memaksa anak tunduk tanpa diskusi justru berpotensi menghambat kreativitas dan kemandirian mereka.
*“Di masa sekarang, anak perlu dibimbing dengan kasih sayang dan dialog terbuka,”* tambah Meity.
Pengasuhan yang sehat bukan lagi tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan bagaimana orangtua dan anak bisa membangun hubungan saling percaya, saling mendukung, dan menghargai perbedaan pandangan.
Anak Butuh Dihargai, Bukan Dikendalikan
Anak-anak tidak hanya memerlukan aturan dan perintah, tetapi juga ruang untuk merasa diakui sebagai individu yang memiliki pemikiran dan emosi.
*“Mereka perlu diberikan apresiasi atas perasaan dan pendapatnya agar tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, kritis, dan mandiri,”* ujar Meity.
Ketika anak merasa dihargai, mereka akan lebih mudah membangun kepercayaan diri, berani menyampaikan ide, dan mampu mengambil keputusan secara independen. Sebaliknya, jika terus ditekan, anak bisa tumbuh dengan rasa tidak aman dan ketakutan berlebihan.
Dampak Negatif Pola Asuh Otoriter
Pengasuhan yang terlalu kaku dan menekan dapat berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak.
Meity memperingatkan bahwa pendekatan ini berisiko menciptakan anak-anak yang cemas, rendah diri, atau bahkan memberontak secara diam-diam.
*“Pola asuh yang terlalu keras berpotensi memicu kecemasan, kurangnya percaya diri, hingga perlawanan terselubung yang bisa berujung pada gangguan perilaku di masa depan,”* jelasnya.
Anak yang selalu dipaksa patuh cenderung mencari cara untuk melawan, entah dengan berbohong, menyembunyikan perasaan, atau menarik diri dari interaksi. Dalam jangka panjang, hubungan antara orangtua dan anak bisa menjadi renggang.
Menuju Pengasuhan yang Lebih Demokratis
Di era sekarang, pola asuh ideal adalah yang mengutamakan komunikasi, empati, dan penghargaan terhadap anak sebagai individu.
Tujuan pengasuhan bukan sekadar menciptakan anak yang penurut, melainkan membentuk pribadi yang tangguh, berani berpendapat, dan siap menghadapi kompleksitas kehidupan.
Orangtua perlu menyadari bahwa anak bukanlah objek yang harus selalu tunduk, melainkan manusia utuh yang butuh dipahami dan diberi ruang untuk berkembang.