
Membangun Moral Sejak Dini: Mengenal Tahapan Perkembangan Menurut Kohlberg
Setiap orang ingin dikenal sebagai pribadi yang berintegritas—bertanggung jawab, penuh empati, dan layak menjadi panutan, terutama bagi mereka yang memegang peran penting di masyarakat. Moralitas yang baik sering kali mencerminkan pola asuh yang tepat sejak kecil. Namun, nyatanya, tidak semua orang dewasa mampu mencapai tingkat kedewasaan moral yang ideal. Psikolog Lawrence Kohlberg dari Amerika Serikat menjelaskan fenomena ini melalui teori perkembangan moral, yang membedakan pemahaman etika manusia dalam beberapa tahap.
Konvensional vs. Post-Konvensional: Di Mana Posisi Kita?
Menurut Nanda Erfani Saputri, M.Psi., psikolog klinis anak dan remaja dari Layanan Psikologi JEDA di Bandar Lampung, tidak semua individu mampu mencapai tahap tertinggi perkembangan moral, yaitu post-konvensional. “Banyak orang dewasa justru berhenti di tahap konvensional,” ujarnya saat diwawancarai pada Senin (1/9/2025). Lantas, apa bedanya kedua tahap ini?
Tiga Tahap Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga fase:
- Pre-konvensional (usia 3–7 tahun): Anak menilai benar-salah berdasarkan konsekuensi langsung, seperti menghindari hukuman atau mencari hadiah.
- Konvensional (usia 8–13 tahun): Anak mulai peduli pada penilaian orang lain, berusaha menjadi “baik” agar disukai atau diakui lingkungan.
- Post-konvensional (14 tahun ke atas): Pemikiran moral lebih matang, didasari prinsip keadilan, hak individu, dan nilai universal seperti hati nurani.
Mengapa Banyak Orang Dewasa “Terjebak” di Tahap Konvensional?
Nanda menjelaskan, sebagian orang dewasa hanya berperilaku baik demi pengakuan sosial, bukan karena kesadaran internal. “Mereka mungkin jujur saat diawasi, tetapi curang ketika tidak terlihat,” katanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai moral belum sepenuhnya tertanam dalam diri.
Peran Orang Tua dalam Membentuk Moral Anak
Nasihat saja tidak cukup. Anak butuh contoh nyata dan stimulasi konkret, seperti:
– Bersikap adil antar-saudara.
– Mengajarkan permintaan maaf saat salah.
– Melibatkan anak dalam diskusi dua arah tentang alasan di balik aturan.
– Menanamkan tanggung jawab melalui tugas harian, termasuk mengerjakan PR tanpa bantuan instan seperti ChatGPT.
“Dari hal-hal kecil di rumah, anak belajar kejujuran dan empati,” tegas Nanda. Dengan demikian, fondasi moral yang kuat dapat dibangun sejak dini, membentuk generasi yang tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga memahami nilai kemanusiaan yang lebih dalam.