Crane di Tebing Kelingking: Antara Kemajuan dan Ancaman bagi Alam Bali
Sebuah video yang viral pada akhir Oktober 2025 memicu perbincangan hangat di media sosial. Dalam rekaman tersebut, terlihat sebuah crane raksasa berdiri tegak di bibir tebing Kelingking, Nusa Penida—sebuah destinasi wisata yang terkenal dengan pemandangan tebing berbentuk kepala T-Rex dan laut biru yang memukau. Kehadiran alat berat ini menandai pembangunan lift kaca setinggi 182 meter, sebuah proyek yang memunculkan dilema antara pembangunan infrastruktur dan pelestarian alam.
Di satu sisi, proyek ini diklaim akan memudahkan wisatawan mencapai pantai di bawah tebing. Namun, di sisi lain, banyak yang mempertanyakan dampaknya terhadap keindahan alami yang justru menjadi daya tarik utama tempat ini. Proyek ini digarap oleh dua perusahaan swasta bekerja sama dengan desa adat sejak 2023, dengan janji bahwa konstruksinya ramah lingkungan dan budaya.
Tapi benarkah masyarakat lokal benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan? Atau ini hanya upaya memaksakan pembangunan demi keuntungan ekonomi semata?
Dilema Tata Kelola Pariwisata
Secara hukum, proyek ini sah karena telah mengantongi izin melalui sistem Online Single Submission (OSS) pusat. Namun, pendekatan sentralisasi semacam ini justru mengurangi peran pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan ekologi. Akibatnya, muncul paradoks: proyek ini legal di mata hukum, tetapi berpotensi merusak lingkungan dan mengabaikan suara masyarakat setempat.
Situasi ini memperlihatkan kegagalan tata kelola sumber daya alam yang tidak melibatkan pemangku kepentingan lokal secara berarti. Seharusnya, pengembangan pariwisata mengadopsi prinsip *polycentric governance*, di mana pemerintah pusat, daerah, masyarakat, dan swasta berkolaborasi secara adil. Selain itu, prinsip pembangunan berkelanjutan—yang memadukan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya—harus menjadi landasan utama.
Filosofi Bali, Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, semestinya menjadi panduan dalam setiap pembangunan. Namun, seringkali logika bisnis mengalahkan nilai-nilai luhur tersebut.
Langkah Menuju Pariwisata yang Lebih Bertanggung Jawab
Agar konflik serupa tidak terulang di masa depan, beberapa langkah penting perlu dipertimbangkan:
- Audit Dampak Menyeluruh: Sebelum proyek disetujui, perlu dilakukan penilaian menyeluruh terkait dampak lingkungan, visual, dan sosial.
- Pemberdayaan Masyarakat Lokal: Pemerintah daerah dan komunitas adat harus memiliki peran lebih besar dalam pengambilan keputusan.
- Moratorium dan Zonasi Ketat: Proyek besar di kawasan sensitif sebaiknya ditunda sementara, sementara zonasi berbasis data ilmiah perlu diterapkan untuk melindungi alam.
Kemajuan sejati tidak diukur dari megahnya bangunan, melainkan dari sejauh mana kebijakan pembangunan mampu menjaga keseimbangan alam dan budaya. Proyek lift Kelingking seharusnya menjadi pengingat: modernisasi tanpa pertimbangan mendalam hanya akan merusak keindahan yang seharusnya dilestarikan.







