
# Pembuka
Sebuah momen menggugah terjadi saat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Erick Thohir meminta seluruh staf Kemenpora membaca 191 peraturan menteri yang telah diterbitkan sejak 2009. Hasilnya? Tak satu pun yang mampu mengingatnya, bahkan dari mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi. Bukan untuk mempermalukan, melainkan Erick ingin menunjukkan betapa regulasi yang menumpuk justru menjadi penghambat, bukan solusi.
Inilah wajah birokrasi olahraga Indonesia: banyak aturan, tetapi minim arah. Sistem yang seharusnya mendukung atlet justru terbelit formalitas, sementara pengurus sibuk berebut kekuasaan. Alih-alih memacu prestasi, regulasi malah menjadi beban.
Mengurai Regulasi yang Rumit
Erick Thohir pun mengambil langkah tegas: memangkas 191 peraturan menjadi kurang dari 20. Bukan sekadar efisiensi, melainkan upaya membongkar belenggu sistemik yang selama ini menghambat kemajuan olahraga nasional.
Salah satu langkah nyatanya adalah mencabut Permenpora Nomor 14 Tahun 2024 tentang standar pengelolaan organisasi olahraga prestasi. Aturan ini, meski bertujuan baik, justru menimbulkan tumpang-tindih wewenang dan berpotensi memicu intervensi pemerintah pada cabang olahraga yang seharusnya otonom. Padahal, intervensi semacam itu bisa berujung pada sanksi dari International Olympic Committee (IOC), bahkan mengancam partisipasi Indonesia di ajang internasional.
Pencabutan ini bukan tanpa dasar. Erick merujuk pada Perpres Nomor 12 Tahun 2025, yang menegaskan arah pembangunan olahraga jangka menengah. Dengan kata lain, ini bukan kebijakan sepihak, melainkan bagian dari desain besar menuju standar internasional.
Mengubah Pola Pikir, Bukan Hanya Aturan
Lebih dari sekadar teknis regulasi, Erick menekankan pentingnya perubahan sikap. Ia mengajak seluruh pihak, termasuk Kemenpora, untuk berintrospeksi. “Jika kementerian bisa berbenah, cabang olahraga dan stakeholder lain juga harus berani melakukan hal serupa,” tegasnya.
Pernyataan ini penting, mengingat dunia olahraga Indonesia kerap diwarnai konflik kepengurusan, ego sektoral, dan perebutan legitimasi. Kasus seperti anggar, berkuda, hingga sepak takraw adalah bukti betapa atlet sering menjadi korban dari perseteruan di atas.
Tiga Menpora sebelumnya—Imam Nahrawi, Zainudin Amali, dan Dito Ariotedjo—gagal menyelesaikan masalah ini. Erick, alih-alih menyalahkan pendahulu, memilih pendekatan musyawarah. “Atlet dan prestasi adalah tujuan utama, pengurus hanyalah support system,” ujarnya.
Tantangan di Depan Mata
Reformasi olahraga bukan perkara mudah. Selain menyederhanakan aturan, Erick juga harus menyelesaikan dualisme kepengurusan, menata hubungan antara KOI, KONI, dan pemerintah, serta memastikan transparansi pendanaan. Belum lagi godaan politik yang kerap menjadikan federasi sebagai ajang perebutan pengaruh.
Namun, Erick punya modal kuat. Sebagai satu-satunya anggota IOC dari Indonesia dan mantan Ketua KOI, ia memiliki jaringan global serta pemahaman mendalam tentang dunia olahraga. Posisinya di kabinet juga memberinya otoritas politik untuk mengambil kebijakan tegas.
Publik boleh berharap, tetapi juga harus tetap kritis. Penyederhanaan regulasi harus berdampak nyata: federasi lebih mudah bergerak, atlet lebih terdukung, dan sistem lebih transparan. Konflik kepengurusan harus diselesaikan, bukan ditunda.
Erick Thohir telah membuka pintu perubahan dengan baik. Namun, seperti dalam olahraga, harapan harus dibuktikan dengan kerja nyata. Hari ini, kita memberi apresiasi. Esok, kita menagih hasil.