
Mobil China Konvensional Laris, Tapi Listrik Bekas Masih Jadi Tantangan
Kehadiran mobil asal China semakin terlihat di jalanan dan pasar bekas. Kendaraan berbahan bakar konvensional dari Negeri Tirai Bambu ini cukup diminati, terutama karena harganya yang relatif lebih terjangkau. Namun, ceritanya berbeda dengan mobil listrik bekas (BEV), yang masih sulit diterima di pasar.
Risiko Tinggi pada Mobil Listrik Bekas
Beberapa pedagang mengaku enggan menjual mobil listrik bekas karena risiko perbaikan yang tinggi, terutama terkait penggantian baterai. Rifai, salah satu pedagang di Bengkel Cak Tris Klaten, menjelaskan bahwa mobil konvensional China lebih mudah diterima masyarakat.
“Dengan harga yang lebih rendah, konsumen bisa dapat fitur lebih lengkap dibanding mobil lain di kelas yang sama,” ujarnya. Risiko mobil bekas China dinilai hampir sama dengan merek lain, sementara mobil listrik bekas masih dianggap terlalu berisiko.
Baterai Jadi Masalah Utama
“Kalau baterainya rusak, biaya penggantian bisa mencapai Rp 40 juta. Itu tidak realistis untuk pasar mobil bekas,” tambah Rifai. Taufik Trisna, pedagang lain di tempat yang sama, mengungkapkan bahwa masyarakat Klaten belum siap menerima mobil listrik bekas, sehingga pedagang pun enggan mengambil risiko.
Meski biaya operasional mobil listrik lebih murah karena tidak perlu beli BBM, minat pasar masih rendah. Pedagang seperti Rio Ferdiansyah dari Elite Car Klaten memilih fokus pada mobil bekas konvensional yang lebih mudah dijual.
“Kami hanya jual yang pasti laku,” tegasnya.
Dengan kondisi ini, mobil listrik bekas masih menghadapi tantangan besar di pasar otomotif Indonesia.