
Pamer atau Berbagi? Memahami Fenomena Flexing di Media Sosial
Media sosial kerap dipenuhi unggahan tentang gaya hidup mewah, liburan eksklusif, atau kesuksesan karier. Perilaku yang dikenal sebagai *flexing* ini sering dinilai negatif, tetapi menurut Psikolog Klinis Maria Fionna Callista, tidak selalu demikian. Kuncinya terletak pada niat dan cara melakukannya.
“*Flexing* sebenarnya tidak salah selama dilakukan dalam konteks sehat dan proporsional,” jelas Fionna dalam wawancara dengan Kompas.com (3/9/2025). Menurutnya, fenomena ini memiliki dua sisi—bisa menjadi hal positif atau negatif, tergantung motivasi di baliknya.
Apakah Flexing Selalu Buruk?
Fionna menegaskan bahwa *flexing* tidak selalu bermakna negatif. Justru, dalam banyak kasus, ini bisa menjadi bentuk penghargaan terhadap usaha dan pencapaian pribadi. Beberapa orang bahkan memanfaatkannya sebagai sarana menyebarkan motivasi.
Contohnya, seseorang yang baru meraih promosi jabatan lalu membagikan kisahnya di media sosial. “Bisa jadi tujuannya baik, seperti memberi semangat agar orang lain tidak menyerah meraih impian,” ujarnya. Dengan kata lain, *flexing* yang bijak dapat menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Kapan Flexing Berubah Menjadi Tidak Sehat?
Meski memiliki manfaat, Fionna mengingatkan bahwa *flexing* bisa berbahaya jika dilakukan secara berlebihan, terutama jika tujuannya sekadar ingin terlihat lebih hebat daripada orang lain. “Masalah muncul ketika *flexing* tidak mempertimbangkan situasi dan audiens,” tegasnya.
Efeknya bisa merugikan, seperti membuat orang lain merasa direndahkan atau minder. “Ini bisa mengurangi rasa percaya diri orang lain dan menciptakan kesan merendahkan,” lanjutnya. Dalam kondisi seperti ini, *flexing* kehilangan nilai positifnya dan justru menimbulkan ketidaknyamanan sosial.
Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi niat sebelum berbagi pencapaian. “Apakah tujuannya sekadar berbagi kebahagiaan, atau mencari pengakuan?” tanya Fionna.
Validasi: Dorongan di Balik Flexing
Fionna juga mengungkap faktor psikologis yang mendorong *flexing*. Sebagian orang melakukannya bukan untuk berbagi, melainkan karena membutuhkan validasi dari orang lain. “Ini bisa terjadi ketika seseorang tidak mendapat pengakuan yang cukup di lingkungannya,” paparnya.
*Flexing* menjadi cara untuk mengisi kekosongan kepercayaan diri. “Mereka mungkin merasa lebih dihargai setelah mendapat respons positif dari luar,” tambahnya. Namun, jika terus bergantung pada validasi eksternal, seseorang bisa terjebak dalam pola membandingkan diri secara tidak sehat.
Kesimpulan
*Flexing* di media sosial tidak serta-merta buruk. Jika dilakukan dengan niat berbagi dan dalam porsi wajar, ia bisa menjadi alat apresiasi diri dan motivasi. Namun, jika berubah menjadi ajang pamer berlebihan demi pengakuan, dampaknya justru merugikan diri sendiri dan orang lain.