
Kuasa Hukum Hasto Kristiyanto Kritik Pasal 21 UU Tipikor sebagai “Pasal Karet”
Annisa E. F. Ismail, kuasa hukum mantan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, menilai Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bersifat multitafsir dan menciptakan ketidakpastian hukum. Kritik ini disampaikan dalam sidang uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/8/2025).
Pasal Bermasalah yang Rentan Disalahgunakan
Pasal 21 UU Tipikor mengancam pidana bagi siapa pun yang menghalangi proses penyidikan kasus korupsi. Namun, Annisa menekankan bahwa frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan” dalam pasal tersebut tidak memiliki batasan hukum yang jelas. “Apakah upaya hukum sah seperti praperadilan juga termasuk kategori ini, padahal tujuannya memang untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan?” ujarnya.
Unsur Melawan Hukum yang Hilang
Menurut Annisa, kelemahan utama Pasal 21 adalah tidak adanya syarat “unsur melawan hukum” dalam tindakan penghambatan proses peradilan. Hal ini pernah diperdebatkan di DPR saat pembahasan *obstruction of justice*, tetapi tidak menghasilkan kejelasan. “Rumusan pasal ini tetap ambigu, sehingga penegakannya bisa sewenang-wenang,” tegasnya.
Permintaan Perubahan Norma
Dalam petitumnya, tim hukum Hasto mengusulkan tiga perubahan mendasar pada Pasal 21:
1. Penambahan frasa “secara melawan hukum” untuk mempertegas tindakan yang dilarang.
2. Pencantuman metode spesifik seperti kekerasan, ancaman, atau intervensi sebagai syarat pelanggaran.
3. Penegasan makna kumulatif—seseorang baru bisa dijerat Pasal 21 jika menghalangi seluruh tahap (penyidikan, penuntutan, *dan* pemeriksaan di pengadilan).
Usulan Rumusan Baru
Tim Hasto mengajukan revisi Pasal 21 dengan bunyi:
*”Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung/tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi—melalui kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji keuntungan tidak pantas—dipidana penjara maksimal 3 tahun dan/atau denda Rp150 juta hingga Rp600 juta.”*
Permohonan ini diajukan untuk mencegah penerapan pasal yang terlalu elastis dan berpotensi merugikan hak-hak terdakwa.