
Kasus Munir Bisa Dibawa ke Pengadilan HAM, Pelanggaran Berat yang Tak Kenal Daluwarsa
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan bahwa kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib memiliki peluang besar untuk diusut melalui Pengadilan HAM. Menurutnya, kejahatan yang merenggut nyawa Munir memenuhi kriteria sebagai pelanggaran HAM berat berdasarkan hukum yang berlaku.
Extrajudicial Killing sebagai Pelanggaran HAM Berat
Dalam acara peringatan 21 tahun meninggalnya Munir di Kantor YLBHI, Jakarta (7/9/2025), Usman menjelaskan bahwa undang-undang HAM mengategorikan pembunuhan di luar proses hukum (*extrajudicial killing*) sebagai pelanggaran serius. “Peluang untuk membawanya ke Pengadilan HAM sangat terbuka. Ini bukan sekadar kasus pidana biasa, melainkan pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Pentingnya Penetapan Status Pelanggaran HAM Berat
Usman menekankan bahwa dengan menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat, proses hukum tidak akan pernah berhenti karena tidak mengenal kedaluwarsa. “Ini kunci utamanya. Selama Komnas HAM masih ada, upaya penegakan hukum harus terus berjalan,” ujarnya.
Dorongan untuk Investigasi Pro Justisia
Lebih lanjut, Usman mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan *pro justisia* guna membuka jalan bagi pengadilan ulang. “Tanpa langkah ini, tidak akan ada peluang baru untuk menuntut keadilan,” katanya.
Jika Komnas HAM tidak bergerak, alternatif lain adalah mendorong presiden dan DPR membentuk tim investigasi baru melalui kepolisian. Hal ini bisa menjadi pintu untuk mengungkap kembali kasus ini dengan bukti-bukti baru, termasuk mengajukan kembali pihak-pihak yang pernah terlibat dalam persidangan sebelumnya.
“Harapannya, dengan upaya ini, keadilan untuk Munir bisa terwujud,” tambah Usman.
Munir meninggal pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia menuju Amsterdam. Hasil investigasi menunjukkan ia tewas akibat keracunan arsenik. Namun, hingga kini, aktor intelektual di balik pembunuhannya belum pernah diadili.