
RUU Perampasan Aset Dinilai Berpotensi Disalahgunakan, Aparat Penegak Hukum Diperingatkan
Pembahasan RUU Perampasan Aset terus menuai sorotan, terutama terkait risiko penyalahgunaan wewenang oleh oknum penegak hukum. Sejumlah partai politik di DPR RI menyuarakan kekhawatiran bahwa undang-undang ini bisa berubah menjadi alat pemerasan jika tidak dikawal dengan ketat.
Zaenurrohman, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM), mengingatkan bahwa meski RUU ini memiliki pasal-pasal yang kuat untuk menyita aset hasil kejahatan, potensi penyalahgunaan tetap mengintai. “Undang-undang ini bisa menjadi alat untuk mengintimidasi jika tidak ada pengawasan ketat,” ujarnya saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (18/9/2025).
Ia menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset tidak boleh diberikan seperti “cek kosong” kepada aparat penegak hukum. Sebaliknya, pembahasannya harus dibarengi dengan reformasi mendasar di institusi penegak hukum, termasuk Polri, Kejaksaan, dan KPK. “Mulai dari rekrutmen, pengawasan, hingga sanksi, semuanya harus diperbaiki agar tidak terjadi *abuse of power*,” tegas Zaenur.
Salah satu langkah krusial yang ia usulkan adalah mengembalikan posisi KPK sebagai lembaga independen, seperti sebelum revisi UU KPK. Saat ini, KPK berada di bawah eksekutif, yang dinilai mengurangi independensinya.
Kekhawatiran di Kalangan Pejabat
Zaenur menyebut banyak pejabat yang merasa was-was dengan RUU ini karena memiliki kekayaan yang sulit dipertanggungjawabkan. “Elite kita punya harta yang asal-usulnya ajaib, tidak tercatat dalam LHKPN dengan benar,” ungkapnya.
Tidak hanya politisi, oknum penegak hukum juga diduga melakukan hal serupa. Banyak di antara mereka yang hidup mewah namun laporan kekayaannya tidak mencerminkan realitas. “Ini menunjukkan perlunya pengawasan ekstra agar RUU Perampasan Aset tidak disalahgunakan,” tambahnya.
Pemerintah: Pembahasan Tidak Mudah
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy) mengakui bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset bukan perkara sederhana. Ia menjelaskan, istilah “perampasan aset” sebenarnya tidak umum digunakan di tingkat internasional. “Yang ada adalah *asset recovery* atau pemulihan aset, dan perampasan hanya bagian kecil dari proses itu,” ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta.
Eddy menekankan pentingnya menyelesaikan RUU KUHAP terlebih dahulu karena RUU Perampasan Aset membutuhkan kerangka hukum acara tersendiri. “Kita perlu mencari titik temu antara hukum pidana dan perdata,” jelasnya.
Meski demikian, pemerintah sepakat untuk memulai pembahasan RUU ini pada 2025. “Prosesnya membutuhkan partisipasi yang serius dari semua pihak,” tandas Eddy.