
Ketika Viral Menjadi Kunci Keadilan: Fenomena “No Viral No Justice” di Indonesia
Media sosial kini menjelma sebagai senjata ampuh bagi warga yang mencari keadilan, seringkali lebih cepat daripada jalur hukum konvensional. Fenomena “no viral no justice” menggambarkan anggapan publik bahwa kasus hanya ditangani serius oleh aparat setelah ramai diperbincangkan di platform digital. Berikut rangkuman fakta dan analisis terkait tren ini.
Kasus-Kasus yang Mencuri Perhatian
Beberapa insiden belakangan menjadi bukti nyata fenomena ini:
- Meninggalnya Pengemudi Ojol: Affan Kurniawan tewas dalam aksi unjuk rasa Agustus 2025, memicu tekanan publik hingga berujung pada hukuman disiplin sejumlah polisi.
- Plat Palsu Rubicon: AKP Ramli di Makassar viral menggunakan pelat kendaraan tidak resmi pertengahan Oktober 2025.
- Pelepasan Tersangka Pencuri:
- Pernikahan Kontroversial: Pasangan beda usia (74 dan 24 tahun) dengan mahar cek palsu senilai Rp3 miliar dilaporkan ke polisi awal Oktober 2025.
Polisi di Cikarang diduga meminta warga membebaskan pelaku pencurian motor, memicu penyelidikan dan pemeriksaan Kapolsek setempat.
Pandangan Para Ahli
Masalah di Tubuh Penegak Hukum
Nasir Djamil (DPR RI) menyoroti lemahnya pengawasan atasan dan pemahaman tugas sebagai pelayan masyarakat di kalangan penegak hukum. Sementara Abdul Fickar Hadjar (Kriminolog) menilai kelambanan penanganan kasus terjadi karena prioritas yang salah dan rutinitas kerja, berpotensi merusak kepercayaan publik.
Efek Negatif Viral yang Tidak Terkendali
Bambang Rukminto (Ahli Studi Keamanan) mengingatkan bahwa konten viral bisa bias atau belum terverifikasi fakta. Jika menjadi dasar tindakan, hal ini justru memicu masalah baru dan memunculkan sikap apatis terhadap hukum.
Tuntutan Perbaikan Sistem
Sugeng Teguh Santoso (IPW) menekankan perlunya respons cepat dan transparan dari pimpinan Polri, serta pengawasan internal yang lebih ketat untuk mengatasi ketimpangan posisi antara pelapor dan tersangka.
Respons Kapolri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa Polri tidak membedakan penanganan kasus viral dan non-viral. Prinsip utamanya tetap memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, terlepas dari sorotan media.
Fenomena ini memperlihatkan betapa masyarakat semakin bergantung pada viralitas untuk memaksa akuntabilitas institusi, sekaligus menjadi tantangan bagi sistem hukum Indonesia dalam memulihkan kepercayaan publik.