
Polda Metro Jaya sedang mempertimbangkan penerapan restorative justice dalam menangani kasus yang melibatkan Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, serta rekannya. Keduanya diduga terlibat dalam upaya penghasutan pelajar untuk berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa yang berujung kericuhan.
Pertimbangan Restorative Justice
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, AKBP Putu Kholis Aryana, menyatakan bahwa opsi penyelesaian kasus melalui pendekatan restorative justice turut menjadi bahan pertimbangan penyidik. “Berbagai masukan terkait penyelesaian kasus ini dengan skema tersebut tentu kami evaluasi,” ujarnya di Mapolda Metro Jaya, Kamis (4/9/2025).
Polisi juga mencatat adanya berbagai dorongan dari pihak-pihak terkait mengenai cara penanganan kasus ini. Menurut Putu, hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Namun, fokus utama saat ini adalah pengumpulan bukti dan pengembangan penyelidikan terhadap pihak-pihak lain yang terlibat.
Proses Penyidikan dan Hak Tersangka
“Kami sedang mempertimbangkan urgensi penangguhan penahanan dengan melihat kebutuhan penyidikan ke depan,” tambah Putu. Ia menegaskan bahwa semua tersangka yang ditahan di Polda Metro Jaya tetap mendapatkan hak-haknya, termasuk pemantauan kesehatan secara berkala.
Sebelumnya, polisi telah menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan pelajar melalui media sosial untuk melakukan aksi anarkis di Jakarta. Mereka adalah DMR, MS, SH, KA, RAP, dan FL.
Peran Media Sosial dalam Aksi Anarkis
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menyatakan bahwa keenam tersangka masih menjalani pemeriksaan intensif. Mereka diduga membuat konten yang mengajak pelajar dan anak di bawah umur untuk terlibat dalam aksi ricuh, termasuk di sekitar Gedung DPR/MPR RI.
“Selain menghasut, beberapa dari mereka juga melakukan siaran langsung di media sosial, memancing pelajar untuk datang ke lokasi dan melakukan tindakan anarkis, termasuk merusak fasilitas umum,” jelas Ade Ary.