
Dunia maya kembali dikejutkan oleh kasus tragis kematian seorang mahasiswa Universitas Udayana, TAP, yang menuai simpati sekaligus memantik komentar-komentar tak pantas di media sosial. Psikolog Vera Itabiliana mengingatkan pentingnya menumbuhkan empati digital, mengingat ruang virtual seringkali membuat orang lupa bahwa setiap unggahan atau komentar bisa berdampak nyata pada perasaan orang lain.
Mengapa Orang Mudah Melukai di Dunia Digital?
Tanpa tatap muka langsung, banyak orang merasa lebih bebas melontarkan kata-kata kasar atau ejekan. Vera menjelaskan, fenomena ini dipicu oleh beberapa hal:
- Efek jarak digital: Tidak melihat ekspresi korban membuat pelaku kurang menyadari dampak ucapannya.
- Herd mentality: Ikut-ikutan mengomentari sesuatu karena banyak orang melakukannya.
- Pelampiasan emosi:
Media sosial kerap dijadikan tempat mencurahkan frustrasi pribadi tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.
Dampak yang Tidak Main-main
Korban cyberbullying, terutama remaja dan mahasiswa, rentan mengalami penurunan kepercayaan diri, kecemasan berlebihan, hingga depresi. Komentar negatif yang terus bermunculan bisa memperburuk kondisi psikologis seseorang, bahkan memicu tindakan ekstrem.
Langkah Praktis untuk Media Sosial yang Lebih Baik
Vera memberikan sejumlah tips sederhana namun efektif:
- Pause Before Post: Berhenti sejenak sebelum mengunggah atau berkomentar, tanyakan apakah konten tersebut bermanfaat atau justru menyakiti.
- Prinsip 3T:
- Tepat waktu: Pastikan momen berkomentar sesuai.
- Tepat konteks: Hindari menyimpang dari topik utama.
- Tepat cara: Gunakan bahasa yang santun dan tidak provokatif.
Tak kalah penting, jangan hanya menjadi penonton saat melihat perundungan terjadi. Diam bisa ditafsirkan sebagai persetujuan, sementara upaya mengingatkan atau melaporkan konten negatif turut membentuk ekosistem digital yang lebih positif. Dengan kesadaran kolektif, ruang maya bisa menjadi tempat yang aman dan menghargai martabat setiap penggunanya.