
Persalinan Caesar di Indonesia Meningkat Drastis: Antara Kebutuhan Medis dan Tantangan Regulasi
Angka persalinan melalui Sectio Caesarea (SC) di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam tiga dekade terakhir. Jika pada awal 1990-an hanya 1-2% persalinan yang dilakukan dengan SC, survei nasional terbaru menunjukkan angka ini melonjak hingga 17-18%. Bahkan, di beberapa rumah sakit swasta besar, persentasenya mencapai 50%.
Studi di Kediri (2023) mengungkapkan bahwa 25,9% persalinan dilakukan secara caesar. Sementara itu, di Bengkulu, angka SC di fasilitas rujukan mencapai 64%, dengan 15% di antaranya tidak memiliki indikasi medis yang jelas.
Meskipun SC terbukti menyelamatkan nyawa dalam kondisi darurat, penggunaan berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi serius. Dari segi biaya, operasi caesar membutuhkan dana 2-3 kali lipat lebih besar dibandingkan persalinan normal. Sebuah studi di Jakarta menemukan bahwa biaya riil SC mencapai Rp7,6 miliar, sementara klaim INA-CBG yang dibayarkan BPJS hanya Rp2,9 miliar—menunjukkan beban finansial yang besar bagi sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Selain itu, risiko jangka panjang bagi ibu (komplikasi pascaoperasi, pemulihan lebih lama, dampak pada kehamilan berikutnya) dan bayi (gangguan pernapasan, risiko infeksi) juga perlu diwaspadai.
Regulasi yang Kuat, Tantangan yang Nyata
Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang jelas terkait persalinan caesar. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menegaskan bahwa pelayanan kebidanan harus didasarkan pada indikasi medis, keselamatan pasien, dan mutu layanan.
Selain itu, Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan—yang diperkuat oleh PP No. 28 Tahun 2024—menyatakan bahwa BPJS hanya boleh membiayai tindakan medis yang rasional dan berbasis bukti.
Di sinilah peran Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) menjadi krusial. Dengan memperketat indikasi SC, TKMKB tidak hanya mengendalikan penggunaan layanan kesehatan, tetapi juga menguji komitmen negara dalam menerapkan prinsip “evidence-based medicine” dalam sistem jaminan sosial.
Beberapa manfaat dari pendekatan ini antara lain:
– Indikasi SC diperjelas sesuai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan standar Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).
– Klaim JKN yang tidak sesuai indikasi dapat dikurangi, membantu menekan potensi defisit.
– Audit medis memastikan rumah sakit bertanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukan.
Dengan kerangka hukum ini, negara seolah menunjukkan tekadnya untuk menegakkan aturan di ruang bersalin.
Tiga Tantangan Besar di Lapangan
Meskipun regulasi sudah jelas, penerapannya di lapangan menghadapi sejumlah ujian nyata.
1. Hak Pasien
UU Kesehatan 2023 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan non-diskriminatif. Namun, trauma persalinan normal, kecemasan berlebih, atau kondisi psikososial tertentu sering kali menjadi alasan ibu memilih SC. Jika regulasi hanya berfokus pada aspek fisik, hak reproduksi dan kesejahteraan mental perempuan bisa terabaikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri menekankan pentingnya menghormati pilihan pasien selama tidak membahayakan keselamatan.
2. Posisi Dokter
Jika seorang dokter menolak melakukan SC karena aturan, tetapi kemudian terjadi komplikasi fatal, gugatan hukum tetap akan ditujukan pada dokter. UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 memang mewajibkan dokter bekerja sesuai indikasi, tetapi belum memberikan perlindungan hukum yang jelas ketika keputusan klinis dipengaruhi oleh regulasi pembiayaan. Tanpa perlindungan ini, tenaga medis justru menanggung risiko hukum yang besar.
3. Ketimpangan Akses
Proses audit dan validasi indikasi SC mungkin berjalan lancar di rumah sakit besar dengan rekam medis digital. Namun, di daerah terpencil, prosedur verifikasi bisa memperlambat keputusan medis. Penundaan tindakan dalam kondisi kritis dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi. Artinya, regulasi yang baik di atas kertas bisa menjadi kontraproduktif di lapangan.
Langkah Nyata untuk Solusi Berkelanjutan
Jika negara serius ingin mengendalikan penggunaan SC berlebihan, diperlukan langkah-langkah konkret yang mencakup:
1. Transparansi Data SC
Menerapkan klasifikasi Robson di seluruh rumah sakit dan mempublikasikan laporan angka SC. Dengan dashboard nasional, masyarakat dan pemangku kepentingan dapat menilai apakah suatu rumah sakit benar-benar menerapkan praktik sesuai standar.
2. Informed Consent yang Lebih Baik
Membuat prosedur persetujuan tindakan medis lebih komprehensif, termasuk penjelasan risiko dan manfaat SC serta persalinan normal. Aspek psikososial juga perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari pelayanan berkualitas.
3. Perlindungan Hukum bagi Tenaga Medis
Regulasi turunan dari UU Kesehatan 2023 harus menjamin bahwa dokter yang bekerja sesuai PNPK dan standar profesi tidak dapat dituntut jika hasilnya tidak sesuai harapan. Perlindungan ini penting agar dokter tidak terjebak antara kepatuhan pada aturan dan risiko malpraktik.
Ruang bersalin bukan hanya tempat medis, tetapi juga arena ujian bagi komitmen negara.
Mengendalikan operasi caesar yang berlebihan memang penting untuk keberlanjutan JKN. Namun, keberanian sejati negara baru terlihat jika regulasi tidak hanya fokus pada pengendalian biaya, tetapi juga melindungi hak pasien, menjamin keadilan, dan memberikan kepastian hukum bagi tenaga medis.
Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah negara mampu menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan nilai-nilai kemanusiaan? Jika jawabannya ya, maka ruang bersalin akan menjadi bukti nyata bahwa Indonesia mampu menghadapi tantangan kesehatan modern dengan kebijakan yang adil, rasional, dan berpihak pada kehidupan.