
Sejak 25 Agustus 2025, aksi demonstrasi di Indonesia terus menjadi sorotan media, baik di televisi, radio, maupun platform daring. Pemberitaan tidak hanya fokus pada aspirasi pengunjuk rasa atau kisah-kisah humanis seperti gotong royong warga atau perjuangan pedagang kaki lima yang tetap berjualan di tengah kerumunan. Namun, sorotan juga mengarah pada tindakan anarkis oleh sejumlah provokator, mulai dari pembakaran hingga penjarahan rumah anggota DPR, serta kekerasan yang melibatkan oknum aparat.
Bagi orangtua, mustahil mengawasi anak setiap saat untuk memastikan mereka tidak terpapar berita-berita tersebut. Lalu, bagaimana jika anak sudah terpengaruh? Apa dampaknya bagi kondisi psikologis mereka?
Dampak Pemberitaan Kekerasan pada Mental Anak
Menurut Nanda Erfani Saputri, M.Psi., psikolog klinis anak dan remaja dari Layanan Psikologi JEDA di Bandar Lampung, anak-anak bisa merasakan ketakutan serupa dengan orang dewasa ketika terpapar konten kekerasan.
“Mereka mungkin merasa cemas, tidak aman, atau khawatir tentang masa depan. Kondisi ini bisa muncul baik melalui paparan langsung maupun tidak langsung,” jelasnya saat dihubungi pada Senin (2/9/2025).
Dampak tidak langsung bisa terjadi ketika orangtua sendiri terpengaruh oleh berita tersebut, sehingga kecemasan mereka menular ke anak. Selain itu, anak juga bisa membayangkan situasi di luar rumah hanya dari mendengar percakapan orang dewasa tentang demonstrasi.
“Perasaan tidak aman dan takut yang intens bisa memicu berbagai reaksi, seperti ketakutan berpisah dari orangtua atau panik mendengar suara keras,” tambah Nanda.
Langkah Orangtua Mengurangi Kecemasan Anak
Gunakan Bahasa Sederhana untuk Menjelaskan Demo
Nanda menyarankan agar orangtua menjelaskan situasi dengan cara yang mudah dipahami anak. Mulailah dari konsep dasar demonstrasi, kemudian perlahan bahas apa yang terjadi di lapangan. Namun, sesuaikan penjelasan dengan usia anak.
“Untuk anak di bawah 12 tahun, cukup jelaskan bahwa demo adalah cara orang menyampaikan pendapat agar didengar. Tidak perlu detail,” ujarnya.
Hindari Penjelasan Rinci Soal Aksi Anarkis
Gloria Siagian, M.Psi., psikolog dari Mykidz Clinic, menambahkan bahwa anak-anak tidak perlu diberi penjelasan mendalam tentang tindakan anarkis.
“Anak kecil hanya perlu tahu mana yang benar dan salah. Jelaskan dengan sederhana, misalnya, ‘Merusak itu tidak baik’,” kata Gloria saat dihubungi Minggu (31/9/2025).
Ia menekankan bahwa pemikiran anak usia dini masih sangat sederhana, berbeda dengan remaja yang sudah bisa diajak berdiskusi lebih kritis.
Diskusikan Pemahaman Anak tentang Demo
Orangtua bisa menggali apa yang sudah dipahami anak, misalnya tentang vandalisme atau kerusuhan. Gunakan bahasa yang sesuai usia, dan untuk anak yang lebih besar, tanyakan pendapat mereka tentang benar atau salahnya suatu tindakan.
“Ajukan pertanyaan seperti, ‘Menurutmu, ini benar atau salah? Kenapa?’ Dari situ, orangtua bisa membimbing pemahaman anak,” saran Nanda.
Batasi Akses Media Sosial dan Televisi
Selain itu, orangtua perlu mengontrol informasi yang diterima anak dengan membatasi penggunaan gawai dan tayangan berita. Tidak semua konten aman atau akurat untuk dikonsumsi anak-anak.
“Orangtua harus sadar, memberi akses informasi harus diiringi dengan pengawasan. Pastikan anak mengerti apa yang mereka lihat,” tegas Nanda.