
Prabowo di Konferensi Gaza: Antara Retorika dan Realitas Diplomatik
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Perdamaian Gaza di Sharm El-Sheikh, Mesir, menjadi sorotan. Forum ini tidak hanya mempertemukan pemimpin global seperti Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, tetapi juga mengundang pertanyaan tentang keselarasan antara pidato idealis Prabowo di PBB dengan rencana konkret yang dibahas di meja perundingan.
Pujian Simbolis dan Agenda Tersembunyi
Prabowo mendapat apresiasi dari Donald Trump, sebuah momen yang dinilai penuh makna politis. Namun, di balik pujian tersebut, artikel mengungkap bahwa “Gaza Plan” yang diusung dalam konferensi lebih berfokus pada aspek keamanan dan pembangunan kembali Gaza, ketimbang menyentuh persoalan mendasar: masa depan politik Palestina.
Rencana Damai yang Kontroversial
Beberapa poin kritis dari rencana tersebut meliputi:
- Pembentukan Board of Peace for Gaza yang justru meminggirkan peran Hamas dan Otoritas Palestina (PA).
- Rakyat Palestina ditempatkan sebagai pihak pasif, bukan pelaku utama dalam proses perdamaian.
- Kurangnya komitmen jelas terhadap solusi dua negara yang selama ini didukung Indonesia.
Paradoks dalam Langkah Diplomatik
Di satu sisi, kehadiran Prabowo dinilai sebagai bentuk dukungan bagi Palestina. Namun, artikel menilai partisipasi ini justru berpotensi menjauhkan Indonesia dari prinsip diplomasinya sendiri, terutama jika rencana yang dihasilkan lebih menguntungkan kepentingan negara-negara besar seperti AS dan Mesir.
Keadilan vs. Stabilitas Semu
Penulis mengkritik keras konsep perdamaian yang hanya berhenti pada pengakhiran konflik tanpa menjawab tuntutan keadilan dan kedaulatan Palestina. Peran Indonesia diharapkan tidak sekadar simbolis, tetapi tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri yang berpihak pada nilai-nilai moral.
Secara keseluruhan, artikel ini memaparkan dilema antara retorika diplomatik dan realitas kebijakan, mengingatkan bahwa perdamaian sejati harus melampaui kepentingan pragmatis semata.